Akhirnya ada juga sela-sela bisa menuliskan kisah perjalanan lintas negara yang penuh drama dan bahagia. Mengulang perjalanan muhibah lalu, alhamdulillah, kesempatan untuk berkeliling 2 negara tetangga dapat terwujud kembali, yakni Singapore dan Malaysia. Bahkan perjalanan itu meninggalkan kisah yang fantastis, sedramatis kepergian kami bertiga, the three musketeermistress – tellu makkunrai warani namakanja π. Opu Odeng, Dwi dan diriku π.
Awalnya sedikit sedih mendapat kabar bahwa Datu Luwu XL berhalangan hadir pada malam Sirri Na Pesse, di Malay Heritage Centre, Singapore (13/10). Kabar itu saya terima dari salah satu rekan Kerukunan Keluarga Tana Luwu (KKTL) di Jakarta, Hartawati Andi Djelling atau disapa Opu Odeng. Walhasil, berembuklah kami berdua dan dengan segala keterbatasan akhirnya memutuskan untuk tetap berangkat dan menghadiri kegiatan itu.
Setelah melakukan konfirmasi dengan Raja M Khalid, selaku kontak person pelaksana kegiatan Malay Culture Fest 2017, kami diminta untuk melakukan reservasi, dikarenakan tempat terbatas. Alhamdulillah, reservasi kami berhasil, dan undangan pun dikirimkan secara online.
Senangnya lagi, ternyata sahabatku Dwi Astuti juga berkesempatan untuk ikut serta dalam perjalanan. Meski dengan syarat hahahhaha. π€
Walhasil, dimulailah segala persiapan. Mulai dari mencari tiket murah meriah, lokasi penginapan yang dekat dengan tempat acara, serta transportasi yang akan digunakan selama perjalanan. Tak lupa pula, kami melakukan koordinasi dengan beberapa kawan yang berdomisili di Singapore dan Malaysia. Dan tidak kalah penting dalam persiapan, kami harus menentukan pakaian yang akan digunakan untuk menghadiri acara itu.
Dalam undangan, disebutkan bahwa pakaian yang dikenakan bisa memilih antara etnis maupun batik. Sehingga pertimbangan kami pun lebih condong pada penggunaan pakaian adat Bugis, sesuai tema acara. Hehehhe, intinya untuk tampil berpakaian adat Bugis di Singapore π.
Keberangkatan
Berhubung penerbangan internasional, jadinya ke Bandara Soekarno Hatta jadi lebih awal. Masih ngantuk-ngantuk deh hehehhee. Apalagi badan letih karena sehari sebelum berangkat masih sempat latihan Maumere dengan ibu-ibu Ikatan Wanita Sulawesi Selatan (IWSS) DKI.
Kami berangkat menggunakan Tiger Airways menuju Singapore. Begitu tiba, kami sedikit terhambat dengan urusan imigrasi. Si cantik Dwi Astutik ternyata harus berhubungan dengan petugas imigrasi karena perbedaan nama di Passport dan KTP. Jadi, pelajaran juga, lain kali, tidak usah menyertakan KTP pada passport, jadi tidak perlu jadi masalah hehehehe.
Alhamdulillah, kami dijemput seorang kawan, Tengku Shawal Tengku Azis yang datang bersama kawannya Man. Tengku Shawal merupakan keturunan ke-7 dari Sultan Hussein Mohammed Shah Ibni Almarhum Sultan Mahmud Riayat Shah III, Singapore 1819-1835 yang seyogyanya merupakan penghuni Istana Kampong Gelam Singapore sebelum diubah menjadi Malay Heritage Centre oleh Pemerintah Singapore.
Dari bandara, kami diajak makan siang di pusat kuliner Bedok Food Corner. Mengaku pencinta kuliner, maka pilihan siang itu adalah chicken rice, dengan pilihan ayam bakar dan ayam tim yummmm… Ditambah lagi minuman Bandung, soda dicampur syrop merah yang di kota Bandung sendiri ga bakal ketemu. Tidak berlama-lama di tempat makan, kami pun beranjak dan berkeliling Singapore sebelum akhirnya kami menuju hostel tempat kami nginap.
Hostel Five Stone yang kami tempati cukup nyaman. Kami mengambil kamar untuk ber empat. Pilihannya memang kamar berempat, berenam, berdelapan atau berduabelas. Ranjangnya tingkat dan kamar mandi bersama. Hmmm, begitu tiba di kamar, kami punya satu teman sekamar asal Jerman, namanya Ana.
Tidak banyak waktu tersisa untuk bersantai, kamipun segera bersiap untuk menghadiri acara Sirri Na Pesse.
Malam Sirri Na Pesse
Sungguh malam yang luar biasa. Tidak menyangka, kami disambut baik, bahkan menjadi artis semalam, karena banyak yang minta foto bersama hehehehe.
Acara dimulai dengan pertunjukan Sang Maestro Gendang Daeng Serang dan kawan-kawan dari Makassar. Mereka tampil memukau penonton dengan tabuhan gendang yang mampu memainkan rasa dan jiwa dengan sentuhan melodinya.
Malam Sirri Na Pesse ini menjadi malam puncak dari pengembaraan penelusuran identitas keturunan Bugis di Singapura. Konon dalam kisah yang dipentaskan malam itu, diawali dengan pertarungan Sultan Hasanuddin dan Arung Palaka, maka kelima anak muda keturunan Luwu Bugis memutuskan untuk mengembara mengelilingi lautan hingga mereka tiba di Riau.
Keturunan Luwu Bugis ini dikenal sebagai sebutan Lima Opu Daeng, adalah Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewa, Opu Daeng Menambung, Opu Daeng Cellak dan Opu Daeng Kamase. Pengembaraan mereka ditemani sang ayah, Opu Daeng Ri Lakke setelah perang antara Sultan Hasanuddin dan Arung Palaka.
Dalam kisahnya, kelima Opu Daeng ini banyak terlibat dalam upaya menggagalkan rencana Raja Kecik untuk merebut tahta kekuasaan Sultan Selangor, Johor di Malaysia juga Riau. Sedangkan kaitan dengan Singapore, adalah dari pernikahan puteri ketiga Opu Daeng Cellak, Tengku Puteh dengan Sri Sultan Abdul Jalil V Mu’azzam menurut data dari Kerabat Kesultanan Johol – Riau Lingga – Singapura – di Istana Kampong Gelam Singapura.
Malam yang cerah, dipadankan dengan teknologi pencahayaan serta iringan alunan melodi musik Bugis yang mendayu bersahutan dengan tabuhan gendang yang menghentak menambah pesona Istana Kampong Gelam di malam itu. Belum lagi ramai pengunjung yang hadir, seolah terhipnotis mengikuti rangkaian kegiatan Sirri Na Pesse. Keingintahuan, ketertarikan serta keterlibatan penonton menjadi benang merah dalam memeriahkan suasana.
Kegiatan yang dikemas dalam Pesta Budaya Melayu 2017 dan Sirri Na Pesse – Menelusuri Identiti Masyarakat Bugis diSingapura, diadakan pada Jumat, 13 Oktober 2017, jam 8.30 malam di Taman Warisan Melayu Singapura. Hadir dalam acara tersebut, Zuraidah Abdullah, Pengurus Yayasan Warisan Melayu, Chang Hwee Nee, Ketua Pegawai Eksekutif Lembaga Warisan Negara dan Alvin Tan Penolong Ketua Pegawai Eksekutif Lembaga Warisan Negara.
Acara juga dihadiri dan dibuka secara resmi oleh, Tamu Kehormatan, Baey Yam Keng, Setiausaha Parlimen Kementerian Kebudayaan, Masyarakat dan Pemuda dengan memukul Gendang Ubi sebanyak tiga kali…
Beberapa tarian pun dipentaskan oleh sanggar Ida El Bahra dari Makassar juga lakonan Lima Opu Daeng yang sangat memukau.
Meskipun acaranya terbilang singkat untuk sebuah pentas seni, namun karena keterpaduan, kesinambungan cerita, serta alur yang terplot rapi membuat malam Sirri na Pesse menjadi buah bibir hingga akhir pertunjukan. Decak kagum senantiasa terlontar dari pengunjung yang hadir. Kiranya, identitas Bugis di tanah Melayu khususnya di Singapore menambah khasanah kekayaan budaya dan pemersatu Nusantara. Aamiin yra.
Bersambung…
*Jelajah Singapore 2017
#viestory #myday #myfreedomspace #ceritavie