PAPA Leuwiliang Bogor

Niatnya sih ga pengen liburan jauh… pengen beres-beres kamar, merubah interior. Tapi permintaan itu tak bisa aku tolak. Judulnya menjadi sopir bantu mengantar ke Bogor. 

Walhasil, aku coba tidur lebih awal pada Jumat malam, 24/12/2017. Mengingat harus bangun subuh dan bawa mobil. Terbayang macetnya jalanan menuju Bogor. Seperti biasa, saat libur, Jakarta akan lengang berbanding terbalik dengan daerah-daerah sekitar Jakarta seperti Bogor, Bandung dan sebagainya.

Namun, perkiraanku salah. Jalanan cukup lengang. Hanya butuh 1.5jam akhirnya kami tiba di perumahan Cimanggu. Setelah melepas penat sejenak, hahahha aku justru membantu merapikan ruang tamu dan kamar tidur si empunya rumah. Maklum, rumah baru jadi masih awut-awutan.. hahahaha… jauh-jauh rapihin rumah orang, kamar sendiri terabaikan ckckckck. 

Anyway busway, hari masih panjang, akhirnya kami pun memutuskan untuk menjajal sebuah lokasi wisata baru di Bogor, tepatnya di kampung Pabangbon desa Leuwiliang. Nama lokasi wisatanya Panorama Pabangbon yang disingkat PAPA.

Wah, luar biasa perjalanan menuju obyek wisata ini. Jalan yang kecil dengan tanjakan curam, bahkan ada yang sampai 70° kemiringan. Setelah melewati perjalanan yang berliku dan penuh tantangan, kami tiba disebuah lahan kosong yang ternyata dijadikan tempat parkir. 

Awalnya kami bermaksud untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Syukurnya tidak kami lakukan. Setelah kami memutuskan untuk menyewa ojek ke lokasi yang dituju, subhanallah, ternyata tujuan kami masih butuh 15 menit berkendara motor melalui jalan yang berliku dan lebih terjal dari sebelumnya.

Deg-degan, perasaan was was serta takut jatuh menjadi teman sepanjang jalan. Apalagi kanan kiri yang dilalui adalah jurang yang sangat dalam. Subhanalah… akhirnya, begitu lega saat kami tiba di tempat tujuan. Eh, koq mirip Taman Wisata Malino ya? Hahahha.. cuma kurang kuda deh☺.

Menghitung semua rombongan cukup, kami pun memasuki lokasi wisata PAPA dengan membayar retribusi Rp. 10.000,- /orang. Berlaku sama untuk anak-anak maupun dewasa.

Wah… serunya melihat semua orang yang datang. Suasana piknik pun menjadi pemandangan, melengkapi hijau pinus dan pemandangan kota Bogor yang nun jauh di mata. 

Akhirnya kami memutuskan untuk mulai hunting foto-foto keren dengan uji nyali ketinggian. Pilihan pertama pun jatuh pada flying fox bergantung di atas ketinggian dengan bersandar pada ikatan tali di badan. Jiahhhhh meskipun bukan yang pertama, tetap aja deg-degannya berasa hahaha…

Setelah itu, pilihan jatuh pada obor. Eh, ternyata pengikutnya banyak hahaha, semua pada mau foto. Jadinya berkumpul beramai-ramailah kita foto bareng. 

Nah, di obyek wisata PAPA ini, selain di pintu masuk, retribusi juga diberlakukan untuk setiap spot foto. Retribusinya Bervariasi 

Setelah itu, pilihan jatuh untuk foto pada perahu di atas pinus. Terbayang mimpi yang dulu pernah saya pikirkan, ketika pertama kali mengetahui kisah Sawerigading. Kala itu, Sawerigading harus pergi mencari We Cudai, lalu oleh saudara kembarnya, We Tenriabeng, maka ditebanglah pohon walenrenge untuk dijadikan perahu Sawerigading. 

Saat kapal sudah siap, tiang pancang utama kapal ternyata tumbang. lalu tiang itu jatuh tepat di atas daratan, sehingga membelah ujung daratan terpisah dan membentuk pulau kecil yang diberi nama Bulupoloe.

Ketika mengetahui cerita itu, saya pun membayangkan suatu waktu nanti, di pulau bulupoloe itu akan didirikan sebuah museum atau obyek wisata sejarah Perahu Sawerigading dilengkapi sarana penginapan dan restoran laut, tentu saja dilengkapi pelabuhan kecil dan sarana permainan air untuk pelayanan tamu yang menginap.

Akh.. kali ini cukup berpose saja di ujung perahu yang tertambat di atas dahan pinus. Sungguh luar biasa, menantang rasa takut akan ketinggian, dengan berjalan di jembatan kurang lebih 15-20 meter dari tanah. Takut akan goyangan jembatan di antara pepohonan pinus, takut akan goyangan jembatan karena jumlah pengunjung  cukup padat, takut akan jatuh karena tidak berpegang dengan erat, takut dan takut dan takut akan ketinggian.

Tapi ternyata tantangan itu menjadi addiction – kecanduan. Karena bukannya berhenti, bulan sabit dan rumah hobbit pun menjadi target berikutnya. Kalau di rumah hobbit sih hampir sama dengan perahu, tapi bulan sabit, wow… mesti menaiki tangga dulu lalu naik ke atas bulan sabit pakai berdiri pula hahahha…

Masih ingin melanjutkan petualangan -petualangan seru lainnya, tapi ingat bahwa masih ingin lanjut ke tajur halang, akhirnya kami memutuskan untuk berhenti. lagipula waktu telah menunjukkan pukul 15.00 dan kami belum mengisi kampung tengah. Tapi yang paling berpengaruh adalah panjang antrian dari masing-masing target foto yang ga bisa dipendekkan hehehehe.

Belum puas rasanya mengeksplorasi obyek wisata Panorama Pabangbon, Bogor ini. Mesti datang kembali tapi lebih pagi bahkan kalau perlu menginap untuk merasakan nikmat yang alam sediakan di bukit pinus ini. ☺☺☺