Tenun dan Roto Rongkong

Keberuntungan membawaku menginjakkan kaki ke tanah Rongkong, Luwu Utara. Desa yang terletak di kaki bukit ini diberi julukan negeri berselimut awan Tanah Masakke atau Tanah yang berkah. Bersama teman-teman Ejayya Art dan disponsori Ketua Umum AKAR (Aliansi Keluarga Rongkong) Bersatu, Dewi Sartika Pasande.
Kami diterima di baruga Tomaka Limbong Rongkong atau Pemangku Adat Limbong Rongkong. Setelah melihat beberapa tarian etnis rongkong juga nyanyian, kami pun menuju Kampung tenun dan wisata alam Rongkong.

Gerbang kampung tenun Rongkong


Di kampung ini, saya bertemu Hadia (53). Rupanya, si ibu bersama 4 ibu lainnya yakni Siti Norma (50), junaya (48) fajarwati (28) dan Elfi (23) telah membentuk kelompok tenunan yang diberi nama kelompok Bunga Risin. Mereka menenun di dusun Salurante Desa Rinding Allo kec. Rongkong Luwu Utara.

Bersama ibu Hadia


Hadia bercerita bahwa budaya tenun ini diangkat kembali pada tahun 2017, setelah 18 tahun budaya ini hilang. Saat itu, muncul kesadaran akan punahnya budaya tenun ini jika satu-satunya pewaris budaya ini meninggal dunia. Sehingga mereka pun belajar dari ibunya bernama Mawila  yang baru saja meninggal dunia tahun 2020 di usia 80 tahun.

Motif Bunga Rissin Tenun Rongkong



Motif ini disebut bunga rissin yang merupakan tradisi turun temurun baik dari bapak maupun ibu, Entah siapa yang pertama kali mengajarkan design tenunan ini, namun tenunan rongkong dibuat dari hati. Untuk membuat 1 lembar kain dengan motif bunga rissin, membutuhkan waktu 6 bulan dengan pengerjaan secara rutin. Sedangkan untuk kain puri lonjong butuh waktu 1 tahun.

Aneka motif kain Roto Rongkong


Selain bunga Rissin, ada juga motif Sekong Sirenden, Kulambu Tanete, Rundun Lolo, Tali Tobatu, Pori Lonjong, Pori Roto dan Pori Ta’tak dan lain sebagainya.

Teknik Pembuatan Tenun dan Kain Roto Rongkong

Pewarnaan pada tenun dan kain roto Rongkong menggunakan bahan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan, sehingga benang dan kain yang akan diwarnai harus diperlakukan secara khusus terlebih dahulu. Hal ini untuk mengikat warna. Sehingga kain dan benang yang akan diwarnai harus disiapkan dengan beberapa langkah.

Pertama; benang dan kain ditumbuk dengan air palli atau campuran rempah lalu dijemur, dan diulang sekitar seminggu hingga benang dan kain siap untuk diwarnai.

Proses menumbuk kain Roto Rongkong


Kedua; benang dan kain yang sudah disimpan 1 minggu, diikat. Lalu dicelup ke dalam cairan warna. Untuk warna hitam dari daun kayu, kalau merah dari akar kayu

Benang dan kain diikat sebelum dicelup ke pewarna



Daun tanaman Indigo atau Tarum warna hijau


Akar mengkudu untuk warna merah Perpaduan daun tarum dan mengkudu menghasilkan warna hitam


Benang yang sudah ditumbuk lalu dijemur supaya warna melengket karena pewarnaan alam dari tumbuh-tumbuhan

Benang yang sudah diwarnai dan siap dipintal untuk ditenun



Proses Tenun



Kain pun ditumbuk supaya mudah menyerap, seminggu ditumbuk dengan kemiri atau air, basah dijemur kering ditumbuk lagi selama seminggu.

 

Motif sekong mandi’

Motif sora yang artinya pertahanan


Keindahan dan keanekaragaman budaya Indonesia perlu dilestarikan. Begitu pula tenun dan roto Rongkong ini. Mari mencintai produk-produk asli Indonesia. Dari bahan-bahan alami dan masih tradisional pekerjaan tangan (handmade).

Bumi Tanah Masakke, 4 Oktober 2020

23 Januari 2020

Tidak terasa, gaung peringatan Hari Jadi Luwu 752 tahun dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu 74 tahun semakin terasa. Peringatan yang dilaksanakan setiap tanggal 23 Januari ini merupakan kegiatan bersama empat kabupaten / kota se-Tana Luwu; Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur. Yang mana untuk penentuan tuan rumah dilakukan secara bergiliran.

Untuk tahun 2020 ini, Luwu Timur lah yang menjadi tuan rumah. Semua kegiatan dipusatkan di Lapangan Merdeka Malili. Berbagai kegiatan mewarnai khidmatnya pelaksanaan hari peringatan ini. Meski terdapat satu dua kekurangan, namun alhamdulillah secara umum semua terlaksana dengan baik.

Secara ekspektasi, sesungguhnya banyak yang menjadi ganjalan dan pertanyaan dalam hatiku. Namun ada satu hal yang kurasa perlu diklarifikasi, utamanya terkait dengan tata tempat untuk para undangan VVIP, VIP dan biasa.

Persiapan

Tidak banyak yang menjadi tugasku dalam event kali ini. Meski demikian, beberapa hal yang menurutku cukup penting, seperti meminta persetujuan Datu Luwu XL terkait design baligho ucapan selamat yang akan dipasang serta foto Bupati Luwu Timur.

Saya juga berkesempatan ikut ke Makassar bersama rombongan Bupati Luwu Timur dalam menyampaikan undangan kepada Gubernur Sulawesi Selatan dan berkoordinasi terkait kunjungan pak Gubernur ke Luwu Timur.

Selain itu juga koordinasi dan penjemputan tamu-tamu di Rumah Jabatan Bupati Luwu Timur di Malili.

Ada beberapa penyampaian yang saya terima tentang persiapan acara, namun berhubung bukan ranah kewenangan saya, maka saya hanya bisa meneruskan kepada yang bersangkutan.

Hari-H

Pada saat pelaksanaan upacara 23 Januari, saya pun menuju rumah jabatan Bupati Luwu Timur. Setelah melihat persiapan, maka saya pun menuju lapangan merdeka tempat pelaksanaan upacara.

Seperti biasa, saya menjadi pilot drone karena semua teman-teman publikasi dokumentasi sudah terbagi dengan peralatan masing-masing. Opi, Feby n ully di rumah jabatan pagi-pagi, Hendra standbye di lokasi pelepasan karnaval, Issak di lapangan merdeka sampai semua berkumpul di lapangan merdeka.

Sesaat setelah menerbangkan drone, saya dihampiri oleh seorang pejabat. Amarah terlihat dari wajah dan suaranya yang komplain terkait tata aturan tempat duduk. Kali ini meskipun bukan ranah saya, namun akhirnya saya menjelaskan aturan keprotokolan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan Pasal 15 bahwa yang mewakili tetap mendapat tempat sesuai dengan jabatannya.

Jadi, kalau seorang pejabat diwakili, maka yang mewakilinya tetap mendapatkan tempat duduk sesuai kedudukannya, bukan sesuai jabatan yang diwakilinya. Meskipun beliau hadir dan memberikan kata sambutan. Untuk itu pemilihan orang yang mewakili sebaiknya minimal setingkat dengan tuan rumah.

Namun, moment setelahnya merupakan kebahagiaan buat saya dan tim publikasi dan dokumentasi. Setelah kurang lebih setahun bergabung bersama tim pubdok humas Luwu Timur, baru kali ini kami bisa menggunakan pakaian adat bersama yang seragam 😍 I love you guys…

(ki-ka) Taufik, Issak, Sulvi, Feby, Hendra, Muslihin

Unity is strength… When there is teamwork and collaboration, wonderful things can be achieved – Mattie Stepanek

Kata-kata Mattie menginspirasiku dalam bekerja teamwork. Apalagi ditambah dengan Vince Lambardi. You’re event will not be a success if you don’t put the effort in, because nothing comes if you don’t work hard, it’s that simple.

The only place success comes before work is in the dictionary – Vince Lambardi

Jadi, tidak peduli sepintar apa dirimu, seberapa berpengalamannya dirimu hingga puluhan tahun, tetap saja, untuk sukses harus bekerja.

Some people look for a beautiful place, others make a place beautiful – Hazrat Inavat Khan

Untuk itu, saya berterima kasih juga ke Rihul Rahim, my partner in action yang telah mencarikan baju bodo untuk teman-teman humas yang perempuan. Setidaknya, kali ini kita bisa tampil beda namun sesuai dengan moment yang ada dan cantik-cantik.

Catatan Vie Untuk FKN XIII Tana Luwu

Catatan Vie – 1

Semua bermula saat aku masih ditempatkan sebagai Pengelola Mess Pemda Luwu Timur di Jakarta. Kami baru saja selesai melaksanakan Event Matemmu Taung Kedatuan Luwu, Januari 2018. Saat itu, Ibu Harta Andi Djelling Opu Odeng dan diriku diminta untuk melanjutkan tugas persiapan Festival Keraton Nusantara XIII Tana Luwu 2019.

Malam-malam pun diisi dengan diskusi dan persiapan. Kami bahkan berkunjung ke Kesultanan Cirebon untuk bertemu Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat untuk mendapatkan arahan dan petunjuk pelaksanaan FKN yang merupakan program silaturahmi rutin Forum Komunikasi dan Indormasi Keraton Nusantara (FKIKN).

Untuk itu, kami juga diutus mengikuti Launching Festival Keraton Masyarakat Adat Asia Tenggara ke-V di Kantor Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 20 Februari 2018.

Beberapa pertemuan diadakan guna persiapan proposal kegiatan yang melibatkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, 4 Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota se-Tana Luwu, serta beberapa perusahaan swasta dan individu yang ingin menyukseskan FKN XIII di Tana Luwu.

Namun rasa cemburu membuat nama baik Opu Odeng dan diriku tercoreng. Tidak ada lagi kebaikan. Lelah kami bahkan dibayar dengan sebuah pukulan di meja yang membuat semua mata pengunjung Cozyfield PIM 2 tertuju pada kami. Seolah-olah kami telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan.

Sejak itulah kami sudah tidak dilibatkan lagi dalam persiapan FKN XIII. Hanya semangat dan titah Yang Mulia To Papoatae Datu Luwu XL La Maradang Mackulau Opu To Bau lah yang tetap menjadi penyemangat kami. Sehingga tidak mengendorkan semangat kami untuk tetap ikut serta menyukseskan FKN XIII meski bukan lagi di tim inti.

Seperti halnya saat kami diberikan mandat Datu Luwu XL untuk mengikuti Seminar dan Sarasehan Peringatan Kebangkitan Misi Suci Menuju Kemuliaan Juang Bangsa Amantubillah dari Juang Keliru bersama Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, M.Si., Raja Mempawah XIII Pangeran Ratu Mulawangsa DR. Ir. Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim, M.Sc., ibunda Ratu Kencana Wangsa DR. Ir. Arini Maryam, M.Sc, serta kerabat Kerajaan Amantubillah di Puri Bagus Candi Dasa Bali pada 15-17 Maret 2019.

Kami juga mendapat mandat mengikuti Bazaar Ugik dalam Festival Bugis 2018 di Malay Heritage Centre Istana Kampung Glam Singapore pada 13-18 April 2018. Dimana kami memperkenalkan tentang Kedatuan Luwu dan budaya Luwu di Singapore serta mensosialisasikan FKn XIII di Tana Luwu.

Yang kemudian berlanjut ke Johor untuk mengikuti Peresmian Persatuan Zuriat Daeng Marewah Ibni Upu Malaysia yang diresmikan oleh YTM Kebawah Kaus Dato Johan Pahlawan Lela Perkasa Setiawan Undang luak Johol ke-15 Dato Undang Muhammad Bin Hj. Abdullah di kediaman DS. Tengku Daeng Baha Ismail pada 21 April 2018. Zuriat Daeng Marewah memiliki keterikatan saudara keturunan Luwu.

Setelah itu kami kembali ke Sulawesi dan mengikuti Launching Logo FKN XIII di Istana Datu Luwu, Palopo pada 12 Mei 2018.

Lalu kami juga mengikuti Dialog Publik Maccera Tasi di kota Belopa, Kabupaten Luwu pada 19 Januari 2019. Penting untuk mengikuti dialog ini yang kemudian memberikan rekomendasi apakah Maccera Tasi’ tetap masuk dalam agenda FKN XIII Tana Luwu.

Kami hanya mengikuti perkembangan persiapan FKN XIII lewat group-group dan postingan medsos teman-teman. Kadang kala merasa sangat gemes karena beberapa persiapan yang pernah kami diskusikan sama sekali tidak dilakukan. Tapi kami memilih go with the flow sajalah hehehe.

Hingga akhirnya beberapa kejadian membuatku berhubungan langsung dengan persiapan FKN XIII, seperti mempertemukan Ketua Panitia FKN XIII dengan Bupati Luwu Timur, mewakili Kabag Humas dalam rapat persiapan FKN XIII bersama Maddika Bua hingga keterlibatan penuh dalam persiapan FKN XIII di kecamatan Wotu Kabupaten Luwu Timur. Secara aku pun telah kembali bertugas di Luwu Timur sejak akhir Februari 2019.

Hingga jelang pelaksanaan FKN XIII, konfirmasi beberapa Raja dan undangan yang akan datang aku sampaikan pada pihak panitia karena mereka menghubungiku lebih dahulu. Eh, Opu Odeng pun menghubungiku menanyakan apakah aku bersedia membantunya mengurusi beberapa tamu dari Luar Negeri sesuai permintaan Ketua Panitia.

Berat rasanya, setelah semua yang terjadi. Rasa kurang nyaman atas perlakuan yang tidak adil dan kekhawatiran akhirnya harus aku buang jauh-jauh mengingat utang budi yang telah diberikan para tamu khususnya dari Singapore dan Malaysia saat aku mengunjungi negara mereka dalam beberapa kesempatan sebelumnya.

Meskipun para tamu-tamu ini sudah mendapatkan Liaison Officer (LO) atau pendamping lokal selama acara, namun Opu Odeng dan diriku diminta menjadi pendamping LO khusus untuk tamu-tamu Malaysia dsn Singapore utamanya yang sudah kami kenal.

Walhasil, karena semua saling terkait, maka aku pun berangkat lebih awal untuk melakukan koordinasi di Palopo. Alhamdulillah, pelaksanaan FKN XIII untuk Luwu Timur berada di akhir jadi waktu persiapan lebih banyak.

Begitu tiba di Palopo, aku langsung membantu di sekretariat Panitia berhubung aku juga butuh konfirmasi undangan untuk rombongan Luwu Timur baik di Gala Dinner, Pembukaan, dan Penutupan, rombongan Raja dan Sultan yang akan ke Luwu Timur, perlakuan kepada para Raja dan Sultan yang akan hadir.

Alhamdulillah, para Raja dan Sultan sudah mulai berdatangan di Kota Palopo. Persiapan demi persiapan dilaksanakan dan saya menjadi bingung karena cukup banyak tugas yang harus diselesaikan sementara show must go on.

Bersambung ke Catatan Vie – 2

Pesona Tana Luwu 2019

Tetiba sebuah pesan whatsapp membuyarkan lamunanku. Ternyata aku menerima sebuh foto undangan yang dikirimkan Sekretaris Kerukunan Keluarga Tana Luwu (KKTL) di jakarta. Undangan untuk menghadiri Peringatan Festival Pesona Tana Luwu di Palopo.

Festival ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Jadi Luwu ke-751 dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu ke-73. Dimana pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran di empat kabupaten Kota se-Tana Luwu. Tahun 2019 ini dipusatkan di Palopo.

Jadilah Jumat sore saya meninggalkan Malili menuju Palopo dan berlanjut ke Belopa. Karena agenda pertama yang akan saya ikuti adalah Diskusi Publik Maccera Tasi’ dalam perspektif agama, budaya dan sains.

Diskusi ini dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan Festival Keraton Nusantara XIII yang rencananya akan diadakan September 2019 di Tana Luwu. Pelaksana Dialog Publik ini adalah Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Tana Luwu bekerjasama dengan Pemdakab Luwu serta panitia Festival Keraton Nusantara XIII di aula Kantor Bappeda Pemda kabupaten Luwu (19/1/2019).

Usai Diskusi Publik kamipun bergeser ke Kota Palopo. Sebelum kembali beristirahat, tempat wisata baru kota Palopo yaitu Kambo pun menjadi tujuan kami. Walhasil, setelah melihat keindahan Kambo, berharap banyak investor lokal mau membuka tempat-tempat seindah Kambo di Tanah Luwu ini.

Minggu (20/1/2019) pagi dilaksanakan eksebisi sepakbola di stadion I La Galigo. Dari tim kesebelasan Luwu Timur dipimpin langsung Wakil Bupati Irwan Bachry Syam.

Usai Eksibisi Bola, rombongan bergeser ke Lapangan Pancasila untuk pembukaan Tana Luwu Expo (TLE). Beragam potensi daerah Tana Luwu dipamerkan di Lapangan Pancasila Palopo. Baik Pemdakab Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu dan seluruh instasi di Kota Palopo ikut meramaikan Tana Luwu Expo yang dibuka secara resmi oleh Walikota Palopo.

Rangkaian demi rangkaian acara Festival Pesona Tana Luwu pun disajikan baik pada siang hari maupun dalam pertunjukan budaya dan kesenian pada malam hari di Lapangan Pancasila.

Senin (21/1/2019) dilaksanakan Dzikir Bersama di Istana Datu Luwu.

Lalu pada Selasa (22/1/2019) dilaksanakan Gala Dinner di Istana Datu Luwu. Turut hadir Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah.

Malam panjang ini pun semakin meriah ketika di penghujung acara, Norma Hande Patabi dari suku To Konde Tana Luwu mengundang Gubernur Sulawesi Selatan, Datu Luwu XL, Walikota Palopo dan seluruh undangan bersama-sama mengikuti langkah kaki dan lingkaran tarian dero yang disebut maddero.

Puncak acara digelar pada Rabu (23/1/2019) yang dimulai dengan pelepasan peserta Karnaval oleh Gubernur Sulawesi Selatan di depan Istana Datu Luwu. Iring-iringan peserta karnaval ini mengenakan pakaian daerah masing-masing dan diikuti oleh peserta dari Kota Palopo, Kab Luwu Timur, Kab Luwu Utara, Kab Luwu, Kab Toraja Utara dan Kab Kolaka Utara.

Setelah seluruh peserta karnaval dan undangan berkumpul di Stadion I La Galigo Palopo, upacara Peringatan Hari Jadi Luwu ke-751 dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu ke-73 dimulai dengan pengibaran Pataka, pembacaan sejarah dan sambutan-sambutan.

Alhamdulillah seluruh rangkaian acara Festival Pesona Tana Luwu sebagai peringatan Hari Jadi Luwu ke-751 dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu ke-73 terlaksana dengan sukses.

Semoga semangat Toddopuli Temmalara, TebbakkE TongengngE, Taro Ada Taro Gau hingga ikatan Masseddi Siri’ tertanam dan mengakar dalam diri dan kehidupan kita sebagai Refleksi 23 Januari 1946.

Festival I La Galigo 2018 (Part 3 – end)

Sesungguhnya perjalanan akhir tahun itu membutuhkan pertimbangan yang banyak buatku. Namun kehadiran Profesor Kathryn Robinson dari Australia National University (ANU) membuatku melupakan segala pertimbangan untuk bisa menghadiri Festival I La Galigo ke-3 di Watan Soppeng, Sulawesi Selatan.

Setelah bersepakat dengan sahabatku Mardiani juga Opu Odeng Harta andi Djelling untuk bertemu di Soppeng, maka kami memutuskan untuk registrasi online.

Aku mengenal Prof. Kathy, begitu kami memanggilnya, ketika aku baru kembali ke Indonesia tahun 2009. Saat itu beliau sedang berkunjung ke Sorowako dan Mardiani membawanya ke sanggar Measa Aroa. Jadilah kami bercerita panjang dan membuat saya tertarik mengenal Sorowako lewat hasil penelitiannya yang dibukukan tahun 1986 dengan judul Stepchildren of Progress yang bercerita tentang kisah Dampak kehadiran tambang nikel pada masyarakat Sorowako, tempatku dilahirkan.

Sejak itu, komunikasi kami terus berlanjut. Bahkan dalam beberapa kali kunjungan beliau ke Sorowako, saya berusaha bisa menemani bersama Mardiani. Kami pernah menempuh perjalanan menuju Mahalona melewati Petea, bahkan ke Routa Sulawesi Tenggara dengan menyeberangi danau Towuti.

Selain itu, saya juga pernah diundang sebagai salah satu pembicara dalam workshop tambang di Australia National University tempat Ibu Kathy mengajar tahun 2015 dengan mengangkat judul Issues of Mining Investment and Government Relation in Decentralised Indonesia (in case of Luwu Timur, Sulawesi Selatan).

Olehnya itu, kehadiran beliau dalam Seminar International La Galigo ini tentu menjadi penting untuk saya hadiri juga Mardiani. Karena begitu banyak informasi dan up-date issue yang kami diskusikan dalam setiap kunjungan beliau ke Indonesia.

Walhasil, meskipun jadwal yang sangat padat dari panitia untuk para pembicara, usai mengikuti seminar hari pertama, kami berhasil membawa Ibu Kathy berkeliling kota Soppeng. Tentu saja tak lupa kami berkunjung ke Taman Kota Kalong atau Kelelawar.

Setelah itu kami beristirahat di Triple 8 Riverside Resort yang ternyata juga menjadi tempat makan malam para pembicara dan panitia Seminar dari Universitas Hasanuddin atau Unhas.

Satu hal yang sangat saya sukai ketika melakukan perjalanan seperti ini adalah informal talk yang berisi muatan informasi dalam bentuk brainstorming. Sedikit lebih detail jika informasi itu kami dapatkan dalam kelas apalagi ruang seminar.

Meski hari berikutnya kami tidak sempat lagi bercerita panjang dengan ibu Kathy karena beliau lebih dahulu meninggalkan Soppeng menuju Makassar. Namun pertemuan kami saat menjemput dan mengantarnya ke bandara di Makassar cukup menambah referensi.

Mardiani dan aku memang masih menyelesaikan seminar hari kedua bersama kak Ida el Bahra. Selain itu kami menunggu kedatangan Opu Odeng Harta Andi Djelling. Meski singkat, namun padat aktivitas. Mulai dari kunjungan ke Taman Kalong, berfoto di depan Villa Yuliana dan menikmati hidangan khas Soppeng di Pusat Kuliner Festival La Galigo 2018.

Dan akhirnya kami meninggalkan kota Soppeng dengan segala kisah tentang Festival La Galigo International ke-3 yang unik dan tentu saja seru 😍.

XXX

Festival I La Galigo 2018 (Part 2)

SEMINAR INTERNATIONAL I LA GALIGO III

Sebelum mengikuti seminar, peserta terlebih dahulu melakukan registrasi ulang. Setelah mendapatkan bagde tanda peserta, kami dipersilahkan masuk ke ruangan seminar.

Selang beberapa saat setelah semua peserta memenuhi ruangan, bertempat di Gedung Pertemuan Masyarakat, Bupati Soppeng H.A.Kaswadi Razak membuka secara resmi Seminar Internasional III I La Galigo pada Selasa, 18 Desember 2018.

Seminar yang dilaksanakan dua hari (18-19 Desember 2018) berturut-turut difasilitasi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dengan menghadirkan pembicara nasional dan internasional dari 10 negara. Diantaranya, Belanda, Amerika, Australia, Malaysia, Indonesia, Canada, Jepang, German, Singapore, Inggris dan New Zealand.

Sebagai manuskrip terpanjang di dunia, Naskah atau Kitab La Galigo telah diakui sebagai kekayaan warisan dunia atau Memory of thr World yang ditetapkan oleh Unesco tahun 2016. Keberadaan La Galigo tidak hanya terdapat di Sulawesi selatan Indonesia saja, lembaran-lembarannya bahkan ditemukan di beberapa negara lain. Sehingga panitia mengangkat tema “La Galigo dalam bingkai peradaban dunia“.

Saat ini, naskah La Galigo baru 1/4 yang telah diterbitkan. Masih ada 3/4 yang menjadi peer untuk dituntaskan. Dalam catatan katalog Ilmuwan Belanda R.A Kern, naskah I La Galigo terdiri dari 113 naskah terpisah dengan total halaman mencapai 31.500. R.A Kern menyaring dan membuat ringkasan menjadi 1.356 halaman. Pada abad ke 19, seorang perempuan Bangsawan Bugis, I Colli Puji’e Arung Tanete, menuliskan kembali sepertiga dari keseluruhan pokok cerita I La Galigo setebal 2.851 halaman berukuran folio.

Yang unik dari seminar yang dilaksanakan adalah upaya panitia untuk tetap menjaga kehadiran peserta dengan memberikan pertunjukan tambahan di sela-sela sesi seminar seperti penampilan Tari Bissu, massure’ dan penampilan cerita rakyat Palu Sulawesi Tengah.

PERTUNJUKAN SENI DAN BUDAYA

Festival Budaya La Galigo di kabupaten Soppeng digelar selama 7 hari 7 malam. Selain Seminar Internasional, dilaksanakan pula Tudang Sipulung, Pengukuhan Umpungeng sebagai Med Poin/ Center Poin Indonesia, Penyajian
Sastra dan Tradisi Lisan, Massureq, Permainan Rakyat, Pentas lagu lagu rakyat, Kirab Budaya Berciri La Galigo dan Pameran Budaya diantaranya pameran Benda-Benda Pusaka.


Kirab Budaya yang dilaksanakan pada senin 17 Desember 2018 dimeriahkan oleh seluruh SKPD, Kecamatan se Kabupaten Soppeng, salah satunya Kecamatan Lillirilau yang akan menampilkan budaya adat bugis Mattoana Arajang, atau yang biasa disebut Mattola bala dimana didalamnya terdapat “Sokko Pitung Rupa” sebagai salah satu persyaratan dalam melaksanakan adat tersebut.

Di lokasi pembukaan bahkan ditampilkan aneka kreasi rumah-rumah adat sebagai tempat kemah budaya. Dan pada malam hari di lapangan Gasis, halaman gedung pertemuan masyarakat, dilaksanakan malam seni dan budaya.

To be continued…

Festival I La Galigo 2018 (Part 1)

It was so hectic, just before leaving Jakarta with all those paperwork for the end of year. Lucky I have my besties Tety to help me completed all the task, reassuring all is arranged in order 😍. And time to leave.

Arrived safe in Makassar, Monday Des 17th 2018. I took taxi to drop few things to Perwakilan Bintang Khatulistiwa. Than I waited for another taxi to Soppeng. I want to attend the international seminar of La Galigo. Another lucky for me, i knew Ware, who assisted me with all information about Soppeng.

She provided information about the transportation, the accomodation, the event venues as well as the cullinary which is very important to know before visiting a new place. Eventhough this is the third time I visit Soppeng but known someone there for all information is so much better.

Than Mr. Cambang arrived and I got a seat leaving for Soppeng. On the way, we suddenly have to stop due to the traffic. I thought it was a car accident, evidently its a fallen tree and closed the road.

Mr. Cambang is the hero. With several guys, he began sawing the fallen tree. He didn’t care it was raining. And the other guy also help him to pull and clean the cutting tree so we could pass. It took an hour to pass the closed road and thanks to Mr. Cambang.

We than continue the trip. I met an intereating pensioner sit next to me. He kept talking along the way. He was so proud about the event. He told me all he could about the venue, the beauty of Soppeng people, the history. Only onething he didn’t realise that I was so tired and sleepy but excited to listened too hehehhee.

I was the last passenger to droped off. We arrived ad ADA hotel. Nice, small, cozy hotel and I like my room. It was early arriving since Mardiani is still on her way from Sorowako to soppeng. So I tried my luck to called a friend and another lucky, she just left the hotel and willing to return, yeiy.

She is one of the best coreographer in makassar also a traditional contemporer dance lecture from Makassar National University. Ida El Bahra she called. And I didn’t have to missed the afternoon doing nothing. Because we end up attending the opening ceremony for the Festival together, alhamdulillah.

Another lucky, we met few friends in common, what a small world. We were giggling, meet and greet, off course enjoyed the show.

Together we returned to the hotel and Kak Ida finally agreed to stay with Mardiani and I with an extra bed in the room. After Mardiani arrived, we went to have dinner. It took ages to find a restaurant as it is not many in Soppeng, even a small restaurant.

To be continued ..