Setelah beberapa kali penundaan sejak pertama kali dilaksanakan tahun 2009, akhirnya perhelatan Festival Danau Matano dilaksanakan kembali. Rasa bangga dan bahagia membuncah di dada. Kampungku melaksanakan satu event akbar, sebuah festival yang diharapkan mengangkat daerah kami menjadi sebuah tujuan wisata, Festival Danau Matano 2015.
Betapa besar keinginan untuk mengaplikasikan semua ilmu tentang event yang pernah kupelajari demi keberhasilan dan kesuksesan event ini. Bergabung bersama teman-teman memeriahkan event luar biasa ini.
Namun, sungguh menyayat hati, begitu menginjakkan kaki di tanah kelahiranku, sebuah spanduk terpampang menolak mekanisme Festival Danau Matano 2015 terpampang dengan jelas di depan kantor Camat kami.

Aku galau, bertanya dalam hati, ada apakah gerangan. Mengapa mereka menolaknya? Bukankah mereka yang telah merencanakannya bersama-sama selama ini. Aku ingat di awal tahun 2015, aku berdiskusi dengan beberapa kawan untuk tetap mendukung kegiatan ini dan tidak menjadi penonton di kampung sendiri. Apa keinginan itu terlalu sulit untuk diwujudkan?
Akhirnya aku berkesempatan bertemu dan berbincang dengan kawan-kawan yang menolak Festival Danau Matano (FDM) 2015 ini. Aku menarik kesimpulan bahwa mereka merasa terabaikan, merasa keberatan dengan pelaksanaan FDM2015 yang terburu-buru, tidak matang bahkan tanpa melibatkan semua panitia lokal yang telah dibentuk dan terlibat dalam perencanaan FDM 2015 ini. Malah, pemangku adat pun merasa bahwa adat mereka telah dilecehkan dengan arogansi pelaksana kegiatan ini.

Seperti biasa, rasanya tidak puas mendengar informasi sepihak, aku mulai melakukan koordinasi-koordinasi lanjut dengan pihak-pihak terkait, mencocokkan, memberikan informasi yang sifatnya menjembatani, namun keterbatasanku bukanlah pengambil kebijakan sehingga bersifat sebagai messengger saja atau penyampai pesan dan informasi.
Namun ternyata, dalam keterbatasanku, aku harus berdiri di simpang jalan. Berada pada posisi pemerintahan dengan statusku sebagai aparat sipil juga bagian dari masyarakat yang menyuarakan ketidakadilan. Bahkan, tendensi pribadi juga sempat merajaiku, ketika aku menjadi bagian dari kawan-kawanku yang menolak sebuah arogansi.

Mungkin aku salah, tetapi secara profesional predikat aparatur sipil negara kusandang ketika uniform atau seragam itu kukenakan. Namun ketika kulepaskan, aku kembali menjadi bagian dari masyarakat, saudara-saudaraku, sahabat-sahabatku, kawan-kawanku dan handai-taulanku. Tentu akan berbeda ketika sebuah jabatan telah melekat di pundakku, tapi saat ini, aku masih sebatas pelaksana.
Hingga akhirnya aku menjadi paham dengan kondisi yang terjadi. Aku paham bahwa sebuah keputusan tidak hanya melihat dari satu dua sisi saja, tetapi harus menyeluruh. Aku mengambil sebuah pembelajaran, ternyata aku masih sering men-judge berdasarkan asumsi bukan data dan fakta, meskipun aku berusaha mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya.
13 hari aksi penolakan teman-teman untuk pelaksanaan FDM2015 tidak mengendorkan pelaksanaan perhelatan akbar ini. Panggung spektakuler tetap berdiri kokoh dengan menampilkan para pengisi acara yang mampu menyulap suasana. Betapa dua sisi yang bersebelahan. Dimana masyarakat terbagi antara yang mendukung dan yang menolak. The shows must go on…

Menurutku, secara performance, FDM2015 memang berhasil memukau hadirin yang membanjiri lokasi kegiatan. Namun secara penyampaian ide, masih sangat jauh dari tema yang diangkat. Karena inti dari menuju warisan dunianya menjadi tidak tersentuh, baik dari segi obyeknya pun subyeknya. Apalagi dari sisi pelibatan masyarakat lokal yang dalam pelaksanaannya menciptakan dua kubu yang saling bergesek.
Secara pribadi, yang paling kuharapkan dari FDM2015 ini adanya seminar internasional yang bisa merekomendasikan langkah-langkah strategis menjadikan Danau Matano sebagai warisan dunia, baik dari segi danau dan ekosistemnya, hingga kearifan lokal budaya masyarakat di sekitar danau Matano. Sayangnya, tidak kutemukan sama sekali selain hinggar binar dentuman musik dan kerlap-kerlip lampu.
Akh.. berharap di tahun-tahun berikutnya, pelaksanaan FDM2015 bisa lebih mengangkat kearifan lokal dengan melibatkan teman-teman penggagas kegiatan ini. Berharap FDM menjadi ajang memperkenalkan tujuan wisata baru dengan mengedepankan budaya lokal, sehingga pelestarian budaya akan berbanding dengan pemeliharaan Danau Matano sebagai warisan dunia.
Sebelum ku akhiri tulisan ini, ingin kukirimkan salam duka dan Al-Fatihah untuk saudariku Sinar yang menghembuskan nafas terakhirnya di penghujung penutupan FDM2015 tak jauh dari panggung utama rangkaian penutupan di Pantai Ide Sorowako. Semoga almarhumah mendapat tempat terlayak dan diampuni segala dosa-dosa. Aamiinn ya rabbal alaamiiiin.
#renunganvie
la_vie