Sejarah telah menceritakan sebuah untaian kisah tentang kearifan budaya masyarakat di suatu tempat. Dalam konteks kekinian, sejarah itu kadangkala menjadi terkuburkan oleh keangkuhan dan keegoisan sekelompok orang yang memiliki kekuasaan di masanya.
Demikian pula dengan masyarakat Luwu. Yang dulu merupakan sebuah bangsa yang besar dibawah kekuasaan Raja Luwu. Kebesaran Raja Luwu bahkan merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka, Melayu hingga ke Afrika Selatan.
Namun terdapat dua kekuatan besar yang tidak pernah bertemu dalam upaya mengembalikan kebesaran Bangsa Luwu. PERTAMA, hirarki kebangsawanan tana Luwu. Dimana, struktur masyarakat yang bertingkat menjadikan aristokrasi tidak diterima lagi di masyarakat modern sekarang ini. Struktur Andi dan Opu dianggap memisahkan strata manusia dianggap hanya memisahkan struktur kemasyarakatan.
KEDUA, dampak dari Pergerakan DI/TII 1951 dibawah kepemimpinan Kahar Muzakkar yang merupakan orang Luwu. Kahar juga dikenal sebagai anti feodal dan menolak sistim kebangsawanan di Sulawesi Selatan. Karena melawan pihak Istana, Kahar bahkan dijatuhi hukuman ri paoppangi tana atau keluar dari kampung sebelum akhirnya pindah ke Solo lalu ke Jakarta dan menjadi tentara sebelum kembali lagi ke Sulawesi Selatan dan memimpin pemberontakan DI/TII terhadap Indonesia.
DI/TII menjadikan daerah Luwu sebagai daerah “merah” bagi NKRI. Bahkan menjadikan NKRI lupa bahwa Raja Luwu lah yang menginisiasi kerajaan-kerajaan untuk mendukung pembentukan NKRI. NKRI seharusnya memberikan hak istimewa kepada Kerajaan Luwu, namun yang terjadi adalah, Istana Luwu bahkan tidak mendapat perhatian sedikitpun dari NKRI.
Bahkan upaya untuk menjadi sebuah provinsipun tidak pernah mendapatkan restu dari Penguasa NKRI. Beberapa kali upaya menjadikan Tana Luwu sebagai sebuah Provinsi dengan kewenangan Daerah Istimewa sejak Raja Luwu Andi Djemma Pajung’e ri Luwu tidak pernah berhasil meskipun telah disetujui Presiden Soekarno sebelum Andi Djemma meninggal tahun 1965.
Andi Djemma dan NKRI
Ketika masih hidup raja (Datu atau Pajung’e Ri Luwu), Andi Djemma’, beliau menemui Presiden R.I, Ir Soekarno pada tahun 1958. Beliau mengusulkan kepada presiden R.I satu Pemerintahan Daerah Istimewa di Luwu.
Alasan Andi Jemma pajungng’e ri Luwu meminta hal ini, karena raja dan rakyat Luwu, sepenuhnya mendukung proklamasi kemerdekaan R.I, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan malah pada tanggal 18 Agustus 1945, beliau membentuk ‘Gerakan Sukarno Muda’ yang dipimpin langsung oleh beliau; selain dari pada itu, beliau memimpin rakyat Luwu tanggal 23 Januari 1946 mengangkat senjata melawan tentara Sekutu yang diboncengi oleh tentara NICA (Nedelands Indische Company Admisnistration) di kota Palopo.
Karena tekanan lawan disebabkan kekuatan tidak seimbang, hingga beliua terpaksa meninggalkan istana bersama permaisyurinya, memimpin rakyatnya bergerilya didalam wilaya kerajaannya, yang akhirnya tertangkap oleh tentara NICA dan dibuang ke Ternate.
Atas jaza-jaza beliau ini, beliau telah dianugrahi Bintang Kehormatan, lencana ‘Bintang Gerilya’ pada tertanggal 10 November 1958, dengan nomor 36.822 yang ditanda tangani langsung oleh Presiden Republik Indonesia Sukarno.
Permintaan dari beliau direstui oleh Presiden Sukarnoo pada saat itu, namun Daerah Istimewa yang dimaksud tidak pernah kunjung dalam wujud nyata, sebagai mana diharapkan beliau, karena saat itu di Luwu, sementara bergejolak pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Abdul Kahhar Mudzakkar, dan sampai Datu Andi Jemma wafat pada tanggal 23 Feberuari 1965 belum terwujud ciata-citanya.]
Sumber : http://www.rappang.com/2009/12/sri-paduka-datu-luwu-andi-djemma.html?m=1
Sehingga menjadi tugas Wija To Luwu untuk meneruskan cita-cita Andi Jemma demi mendapatkan kembali kedaulatan Tana Luwu sebagai sebuah bagian penting dari NKRI.
la_vie