Sotta

Inimi yang namanya sotta.. bahasa kerennya sok tahu, hahahhaha…

Pesan singkat sudah aku kirimkan ke kakakkku lalu aku memilih tidur dalam perjalanan yang panjang. Begitu subuh tiba, tak lupanaku memastikan jemputan di tempat biasa. Namun tak dinyana, begitu aku tiba, tak ada jemputan sama sekali.

Aku coba kontak kakak dan kemenakan-kemenakanku, namun tak ada balasan. Kupikir, mungkin semua ketiduran. Syukurlah matahari telah menampakkan sinarnya, hingga tanpa ragu aku menghentikan angkutan bentor (becak motor) menuju rumah kakakku.

image

Sumber gambar: google

Melewati jalan panjang berliku, udara pagi tetap saja terkontaminasi debu jalanan yang di lalui truk-trus besar pengangkut semen. Meskipun disisi lain, pemandangan perkampungan denga sawah yang membentang menyapu perhatianku.

image

Sumber gambar: google

Ponselku berdering, “sudah dimana ki?” Pertanyaan dari suara laki-laki di seberang sana menyapaku.

“Tabek*, siapa ini? Tanyaku ingin tahu.

“Saya, Edi, diminta kakak ta untuk menjemput”, jawab Edi yang kubayangkan dengan kepanikan karena terlambat menjemputku.

“Yah, saya sudah dalam perjalan ke perumahan”, jawabku.

“Naik apa ki?, naik taxi ki?” tanyanya beruntun?

“Iye, taxi bentor”, jawabku singkat.

image

Sumber gambar: google

“Dari manaki?”, lanjut Edi.

“Dari Sorowako”, jawabku.

“Oh, saya jemputki?”, tanya Edi.

“Janganmi, nanti saja jam 12 kita antarka ke Bandara. Saya mau balik ke Jakarta. Saya juga sudah hampir tiba di rumah”.

“Oh iye, jawabnya sambil menutup telpon.

Tibalah aku di rumah kakakku, setelah menyapa akupun melanjutkan tidur karena kantuk yang menyerang.

Kurang jam 12 siang, Edi datang menjemputku untuk diantar ke bandara. Dalam perjalanan, dia bersaksi.

“Tabe di, tadi pagi itu saya telponki karena saya tunggu-tungguki tidak keluar dari Bandara padahal hari telah siang. Tadi malam saya diperinyahkan jemputki, tanpa bertanya dimana dan dari mana. Ternyata kita dari sorowako bukan dari Jakarta”, jelas Edi panjang lebar.

Penjelasan Edi kusambut dengan tawa lepas dan sebutan ooooo yang panjang. “Pantasan kita tanya ka naik apa?”, jawabku.

“Iye, saya sempat heran, kenapa saya tiba tidak kena semprot dari juragan laki-laki dan nyonya meneer. Siapa yang bukakan ki pintu?” Tanya Edi.

“Ooo, Dhea yang bukakan pintu.” Jawabku.

“Pantasan tidak ditegurka karena naik bentorki,” jelas Edi dengan suara bersalah.

“Gimana mau ditauk, kan semuanya masih tidur pas saya tiba. G adalah yang tau saya naik apa, taunya saya tiba di rumah dengan selamat, ujarku.

Lantas Edi terkekeh, “wah.. inimi kalo sotta, merasa tau perintah. Akhirnya, disuruh jemput kesana, jemputnya kemana.”

“Hahahha”, aku tertawa n pamit tidur lagi. Rasanya malas melanjutkan.. toh aku baik-baik saja 😆 * * *

Ket:
* Tabek : Permisi dalam bahasa Bugis, Sulawesi Selatan.

#RenunganVie

la_vie

Refleksi Jemari

Mendengar berita ibu sakit membuatku gundah gulana,dan akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung. Tak dinyana, dampak dari pesawat delay menghantarkanku berkenalan dengan sosok yang luar biasa sebagai teman perjalanan menuju Sorowako, Sulawesi Selatan.

image

Sumber foto : dok. Pribadi

Namanya Idris (32) asal Pinrang, Sulawesi selatan. Dengan keahliannya di bidang las, dia akhirnya berhasil menciptakan beberapa mesin teknologi pertanian tepat guna. Diantaranya mesin perontok jagung dan mesin panen padi yang sudah merambah pasar nasional.

image

Sumber foto : Google

10 tahun merintis usaha yang awalnya bermodalkan cincin pernikahan ini, juga telah menghantarkannya bertemu dan berdiskusi langsunh dengan sosok nomor satu Indonesia, Presiden Joko widodo dalam lawatannya ke Sidrap dan Pinrang beberapa waktu lalu.

image

Sumber foto: Google

Dari diskusi panjang kami, satu hal yang menggelitik adalah konsep Refleksi Jemari yang dikemukakannya. Dimana dalam sebuah usaha, terdapat lima fase utama seperti tingkatan dalam jemari kita.

image

Sumber foto : Google

Tahun pertama bisnis diibaratkan jari kelingkin. Lalu masuk tahun kedua meningkat ke prose usaha. Tahun ketiga mencapai puncak. Lalu pada tahun keempat mau tak mai terjadi penurunan yang akan menentukan tahin-tahun selanjutnya apakah jempol yanh naik ke atas dalam konteks sukses, ataukah menghadap kedepan sejajar yanh diartikan ‘survive’ atau bertahan ataukah menghadap ke bawah atau berhenti usaha.

image

Sumber foto : dok. Pribadi

Tentu saja tidaklah mutlak demikian, namun dalam pengalaman hidupnya, Idris telah melewati 2 fase dalam 10 tahun berusaha dan telah membuktikannya. “Paling tidak berusahalah selama 3 tahun. Karena ketika bertahan dan tetap bertahan hingga tahun kelima, maka insyaallah kita bisa meraih puncak lagi dalam tiga tahun berikutnya dan seterusnya,” jelas Idris.

Perjalanan panjang semakin tidak terasa, terutama ketika Idris yang juga alumni Universitas Hasanuddin (Unhas) Teknik mesin ini tiba di tempat tujuannya, Bengkel las Sicandu Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara, Sulawesu Selatan.

Terima kasih atas konsep Refleksi Jemarinya yaa.. mudah-mudahan bisa berguna sebagai pencerahan dan pembelajaran kita bersama dalam memulai dan bertahan di bisnis kita masing-masing. Saya bahkan sepakat.. memang banyak orang pintar dan cerdas namun hanya orang-orang terpilihlah yang akan fokus dan komit dalam menjalankan bisnis untuk bisa berhasil. Bahkan ada kecenderungan ketika selesai pendidikan tinggi, akan memilih pekerjaan berdasi di belakang meja ketimbang berkreasi dan menciptakan lapangan pekeejaan.

Salut buatmu Idris.. teruslah berkreasi dan sukses menuju AFTA 2015…

Sayapun melanjutkan perjalanan menuju Sorowako bertemankan cemilan hehehehe.

image

Sukseski semua…

#RefleksiVie

la_vie

Harga Menunda

Hari ini bertemu seorang kawan dari masa lalu. Tak banyak yang berubah darinya, hanya saja kemuraman tengah menyelimuti wajahnya dan aku hanya terpana mendengarkan kisahnya.

image

‘Andai dulu kami jadi mengambil program kesehatan yang kau tawarkan, mungkin istriku dapat terbantu, karena pada saat itu, biaya rumah sakitlah yang menjadi hambatan terbesar kami. Beruntung kakak istriku tiba, sehingga kami bisa meminta bantuannya dan perusahaan bisa memberikan pinjaman sehingga istrikj bisa ditangani rumah sakit, meskipun terlambat. 😦 dan sekarang, setelah kepergiannya, aku tetap harus mengembalikan dana-dana yang aku pinjam sebelumnya.

image

Sahabat.. itulah harga menunda. Tanpa menafikan kondisi kita yang sebenarnya, sesungguhnya menyisihkan sebahagian dari rejeki yang kita miliki untuk persiapan kondisi-kondisi kritis sungguh merupakan suatu antisipasi. Mengapa demikian? Ibarat kita membeli payung… kita membelinya untuk persiapan ketika hujan turun atau panas menyengat. Apakah dengan memiliki payung kita akan benar-benar tidak basah dan tidak kepanasan?

Memang jawabannya tidak, namun dampak memiliki dan menggunakan payung tersebut akan mengurangi resiko basah dan panas jika tidak menggunakannya. Bayangkan, tanpa menggunakan payung ketika hujan, maka mulai dari kepala hingga kaki, akan basah. Sehingga, payung disini memberikan perlindungan. Jika payungnya besar, maka sekujur tubuh tidak akan basah, namun ketika payungnya kecil, perlindungannya juga lebih sedikit, hanya pada tempat-tempat tertentu saja.

image

Nah asuransi kesehatanpun demikian. Pada saat terjadi kondisi kritis, apakah itu sakit kronis, kecelakaan maupun meninggal dunia, si nasabah maupun keluarganya akan sangat terbantu terutama dari sisi keuangan.

image

Ketika terjadi kondisi kritis seperti sakit jantung, liver, tumor, maka kita akan rela menjual seluruh aset yang kita peroleh dari hasil kerja keras kita untuk biaya pengobatan, betul? Tapi apakah perlu seperti itu? Sementara hidup masih akan terus berlanjut jika Allah SWT menghendaki?

image

Haruskah kita menambah beban pinjaman hutang untuk membiayai pengobatan tersebut? Ataukah kita merendahkan diri dan meminta sumbangan untuk bantuan ini? Padahal dengan memiliki proteksi kesehatan, kita bisa terhindar dari resiko-resiko hidup itu.

Jika kita memiliki proteksi kesehatan yang besar, maka resiko itu bisa kita minimalkan seperti dengan menggunakan payung maka kita bisa mengamankan tubuh kita dari basah. Semakin besar proteksi kesehatan yang kita miliki, semakin besar resiko keuangan karena kondisi kritis kesehatan bisa kita dapatkan.

Fren, terima kasih atas kisahmu yang  menginspirasi tulisanku kali ini. Karena resiko menunda memiliki proteksi kesehatan sangat besar. Pun bagi dirimu, milikilah semampumu. Karena manfaat proteksi kesehatan itu bukan hanya untuk dirimu, tapi untuk keluarga yang kau cintai.

image

Memang ada orang-orang seperti istrimu, yang sebenarnya tidak ingin membebani orang-orang disekitarnya karena penyakit mereka, sehingga lebih memilih diam. Tapi tanpa mereka sadari, justru dampaknya akan sangat menyakiti keluarganya.

Apalagi jika faktor biaya pengobatan yang menjadi pokok permasalahan. Bukan hanya si penderita saja yang merasakah susah dengan penyakitnya, tapi keluarga juga akan pusing dengan masalah biaya pengobatannya. Dan penyakit-penyakit seperti tumor, jantung, liver, kanker, dan ratusan penyakit berat lainnya, akan sangat berdampak pada masalah keuangan, seberapa kayapun orang itu.

Semoga ini menjadi pembelajaran untuk kita semua. Memang pada saat kita membutuhkan biaya pengobatan untuk orang yang kita cintai, kita akan melakukan apapun tanpa berfikir dampaknya, namun jika kita telah memikirkan tentang suatu resiko dan mulai memikirkan serta melakukan upaya untuk  mengantisipasinya, maka ketika masalah itu datang, kita tidak perlu terlalu kehilangan segala-galanya untuk membiayai kesehatan kita sendiri maupun orang yang kita cintai.

image

Jangan menunda. Miliki proteksi kesehatanmu sekarang. Mungkin kecil, namun manfaatnya luar biasa besar.

#RenunganVie

Sumber foto: http://www.google.image.com

la_vie