Titik air merembes menembus sebuah lubang kecil di atap rumahku. Akh… satu hal yang semakin mengganggu tidurku. Entah mengapa aku selalu saja memilih berbaring atau mengerjakan hal lainnya ketimbang memperhatikan lubang-lubang yang mengganggu ini di kala senggang.
Mataku memerawang memandangi dan menghitung jumlah lubang yang semakin bertambah. Tapi tetap aku tak beranjak, aku hanya diam.
Tak terasa rintik hujan pun mulai terdengar lebih teratur. Perlahan dan lebih terarah. Namun mata ini belum juga terpejam. Kubuka jendela perlahan Dan tak ada senyum matahariku yg biasa menyapa.
Dering telephoneku memberikan shock terapy. Sudah sering aku berfikir tuk menggantinya karena deringnya sering kali mengejutkanku. Tapi kembali, tangan ini begitu malas tuk bergerak.
Setelah beberapa kali ku acuhkan, tergeraklah tanganku menggapai telephone
‘halo, gilang disini’ sapaku seadanya..
Pikiranku kembali menerawang mencoba mencerna arah pembicaraan orang yang menelponku…
Telepon pun terlepas dari tanganku, samar terngiang di telingaku… ‘Abah telah meninggal… Dia begitu merindukanmu, mengapa kau begitu keras hati n mengabaikan Telpon kami?’
Andai kemarin sore aku memilih pulang, mungkin masih sempat membuat Abah tersenyum…. Andai pertama bocor, aku memperbaiki atap… Andai telpon kuangkat lebih awal, aku masih sempat bertemu abah… Andai aku tak malas…..