Catatan BG untuk MDI

Dikutip dari halaman FB Bang Gegen 

​TERIMA KASIH, DR. MARWAH DAUD BRAHIM…
Saya punya beberapa kanal medsos, FB, Twitter, Instagram, Linkedln dan blog saya. Tapi yang paling aktif memantau situasi terkini cuma FB. Jadi, seorang adik rupanya sudah mulai paham, kalo FB saya diam, berarti saya dalam perjalanan. Traveling gitu, bahasa kerennya. “Kalo abang lagi diam soal Ahok, pasti lagi traveling somewhere,” komenG-nya. Ya, 1-2 minggu lalu saya memang pasif. Sebenarnya, karena memang tak semua hal perlu saya ulas atau komentari. Saya hanya bersandar pada hal-hal yang MASUK AKAL.
Di luar itu saya enggan berpendapat. Nah, dalam dua minggu ini, sambil urus perjalanan, saya berpikir, apa yang sebenarnya terjadi? Saya malas komentari Kanjeng Dimas, dukun klenik pengganda uang. Paling, jadi cemoohan atau meme lucu-lucuan aja. Tapi ketika isyu Marwah Daud Ibrahim mengemuka, tepatlah dugaan saya bahwa kita itu semakin hari semakin ngawur bersama-sama, istilah plesetan yang gak bagus: “ngawur berjamaah”.
Pertama, pengajaran agama bertujuan untuk memperbaiki ruhani manusia, agar manusia selamat, dan bahagia untuk kehidupan selanjutnya. Itu yang diinginkan Tuhan. Tapi manusia punya free will, “HAM”, berbuat sekehendak hatinya. Silakan. Tapi agama untuk mengurus ruh, agar dirinya baik, dan dunia yang dijalaninya baik. Tapi dunia bukanlah tujuan, melainkan kehidupan akhirat yang selamat dan bahagia. Serahkan urusan pada ahlinya. Ustadz tidak mengajar artitektur bangunan. Para bankir tidak mengajar religi tentang ruh manusia. Dan seterusnya. Kalau ada guru spiritual punya kemampuan sulap “membuat uang”, maka tinggalkan. Kata Beliau, tinggalkan, arah kamu sudah salah.
Maka selesailah urusan Kanjeng Dimas, yang sejak awal sudah malas saya komentari. Kalo ada pemimpin percaya pada Kanjeng Dimas, tinggalkan. Itu sama saja percaya pada dukun. Klenik. TINGGALKAN. Itu musyrik. Pemimpin seperti itu pun, TINGGALKAN. Selesai.
Tapi persoalannya; bagaimana dengan uang Kanjeng Dimas yang ASPAL? Pada telaah awal, polisi dan bank menyatakakan uang Kanjeng Dimas asli, rilis dari Bank Indonesia. Jangan-jangan memang, secara fisik asli, tapi sebenarnya “palsu” karena tidak boleh beredar karena belum disertai Standing Instruction? Kalo begitu, kenapa Kanjeng Dimas bisa mengakses uang tersebut? Bukankah seharusnya uang seperti itu terkunci rapih di gudang BI? Kalau demikian, berarti persoalannya bukan klenik lagi, melainkan sebuah transaksi politik kekuasaan yang besar. Dan melibatkan banyak orang. Apakah ada hubungannya dengan kesaksian Akbar Faisal, Anggota DPR RI dari Partai Nasdem, bahwa Kanjeng Dimas beberapa kali keluar-masuk Istana Kepresidenan dipanggil Jokowi? Ada apa di baliknya? Sayangnya, pernyataan Akbar pada forum ILC TV One 4 Oktober 2016 itu tidak dicecar oleh Karni Ilyas. Tapi foto Kanjeng Dimas bersalaman dengan Jokowi sudah telanjur beredar.
Tapi saya mau menggarisbawahi persoalan Dr. Marwah Daud Ibrahim, senior saya di kampus, yang memiliki keyakinan akan Kanjeng Dimas. Dalam konteks keyakinan agama, bagi saya Kanjeng Dimas sudah tamat. Tapi dalam konteks politik kekuasaan, saya kuatir menyisakan persoalan panjang. Sementara Marwah Daud, dan keyakinannya pada Kanjeng Dimas, adalah refleksi dari hancurnya keyakinan kita.
Sejak pembelaannya atas keyakinannya pada Kanjeng Dimas mengemuka, Marwah Daud dihujat sana-sini. Bahkan Akbar Faisal, politisi yang terlibat dalam persoalan ini juga bersuara dengan diksi khasnya, “Pulanglah Kakanda”.
Dikarenakan pandangan saya bahwa “dukun pengganda uang” adalah sesat dalam kacamata religi, maka otomatis pengikutnya juga sesat. Termasuk Dr. Marwah Daud Ibrahim. Apapun argumen sang kakanda itu. Marwah Daud kemudian merespons pernyataan Akbar, bahwa dia akan tetap berjalan dengan keyakinannya. Hanya, di sini tersisip pertanyaan: Kalau “dukun pengganda uang” itu sesat, berikut pengikutnya, kenapa ia bolak-balik dipanggil Jokowi ke Istana? Siapa guru siapa murid, siapa yang diikut siapa pengikut? Ingat logika itu; siapa yang setuju dan berhubungan baik dengan cara dan pekerjaan sang “dukun pengganda uang” itu, maka dia sesat. Celakanya, dari Istana Kepresidenan hingga rakyat jelata telah jadi “share holder” Kanjeng Dimas. Inilah “ngawur berjamaah” yang saya maksud. Kita telah berobah menjadi negeri klenik. Negeri para dukun. Istana pun telah runtuh, bukan lagi simbol Republik Indonesia yang sakral diproklamasikan pada bulan Ramadan 71 tahun lalu. Istana telah berobah menjadi tempat beroperasi para praktisi nujum.
Jadi, dalam situasi negeri klenik hingga istana yang dikuasai para ahli nujum, ajakan Akbar Faisal “Kembalilah Kakanda” seperti retorika dunia infotainment belaka: Marwah Daud Ibrahim mau kembali kemana? Negerinya sudah berobah jadi negeri nujum. Pertanyaannya, apa Akbar Faisal atau siapapun yang menghujat Marwah Daud tidak tau atau pura-pura tidak tau? Kalau pura-pura tidak tau, itu dusta namanya.
Saya setuju kita berdoa, semoga Marwah Daud mendapat hidayah dan petunjuk dari Allah SWT. Tapi ironisnya, kenapa kita tidak berdoa untuk diri kita untuk kepentingan yang sama? Atau kita semakin sibuk dengan klaim bahwa kita yang benar?
Rasulullah sudah bersabda, bahwa pada akhir zaman ummat Beliau akan terpecah menjadi 73 golongan. SEMUANYA MASUK NERAKA. KECUALI SATU. Yakni yang sama dengan Beliau dan Para Sahabat, baik Syariat dan Hakikatnya. Pertanyaannya: Ada di mana kita? Apakah Marwah Daud ada di kelompok 72 golongan itu; lalu kita masuk ke dalam golongan yang SATU itu? BELUM TENTU. Tanyakanlah pada diri kita; apakah kita sama dengan Rasul dan Para Sahabat, baik Syariat dan Hakikatnya? Apakah kalau kita ikut menyembah nabi palsu kita masuk golongan yang SATU itu?
Mari kita uji diri kita. Bila anda sholat nanti, angkatlah takbiratul ihram. Dalam sholat itu ada rukun qauli, qolbi dan fi’li; yang terucap, yang terniat dalam hati, dan gerakan tubuh. Ketetapan Hakikat itu pada Ingatan. Pertanyaannya, pada saat takbiratul ihram; “apa” atau “siapa” yang Anda ingat? Harusnya Tuhan. Tapi bagaimana caranya?
Dalam QS Al Baqarah 149-150 sebenarnya ada petunjuk, bahwa di manapun kita berada agar menghadapkan wajah kita ke “Tempat Sujud Yang Mulia”. Maksudnya, apalagi di dalam sholat, agar hakikat ruhaniah kita mengarah ke Masjidil Haram, di mana Baitullah adalah episentrumnya, episentrum semesta alam. Orang kafir adalah orang yang tidak sholat, tidak memelihara hubungannya dengan Tuhannya. Maaf, KTP tidak berlaku, meski tertulis Islam di situ, maaf. Di akhirat, malaikat tidak tanya KTP. Itu statistik dunia. Ketetapan Islam itu pada ikrar dan amal. Maka sholat harus juga mengingat Tuhan. Di mana? Di Baitullah. Yang tidak mengingat Tuhan di Baitullah, maka pada hakikatnya telah mengambil “tuhan” yang lain untuk disembah. Maka dia telah ingkar di dalam sholat. Ingkar bahasa Indonesia, bahasa Arab-nya: Kafir. Bahkan di dalam sholat. Ancamannya: Siksa. Siapa yang bilang? Buka QS Al Anfaal 35: “Dan tidaklah sholat kamu di sisi Baitullah melainkan hanya bertepuk-tepuk tangan dan bersiul-siul belaka, maka rasailah siksa disebabkan kamu ingkar.”
Berdasarkan keterangan demikian, kajilah sendiri, kita ingkar atau tidak? Kalau kita ingkar, mana bisa kita masuk ke dalam golongan yang SATU itu? Marwah Daud atau orang-orang yang mencela dan menghujatnya silakan mengkaji sendiri; mereka masuk golongan yang SATU atau 72 lainnya? Bukannya kita ini saat sholat, baru angkat takbiratul ihram, ingatan kita langsung ke pasar, mall, kantor, kafe, perempuan cantik, laki-laki ganteng, kisah cinta, cucian, sepatu, kunci mobil, hape yang tertinggal, dan sebagainya? Maka kantor, kafe, mall, perempuan cantik, laki-laki ganteng telah menjadi sesembahan di dalam sholat. Tuhan di mana?
Satu setengah miliar orang Islam di permukaan Bumi mengangkat takbiratul ihram, apa sama semua hakikatnya ke Baitullah? Walahualam.
Apa yang terjadi sekarang adalah “sesat berjamaah” untuk tujuan masing-masing dalam konteks yang massif karena sudah melibatkan istana hingga jelata dalam level yang sangat memprihatinkan. Saya berterima kasih pada Dr. Marwah Daud Ibrahim, karena kisah pencariannya menjadi cermin bagi saya, untuk mengontrol diri saya sendiri agar jangan tersesat. Kalau Marwah Daud tersesat, kita doakan mendapat petunjuk, kesenangan dan hidayah, seperti yang terkandung dalam doa Qunut, sehingga itulah mengapa kita membaca Qunut pada Sholat Subuh. Tapi tentu doa itu seyogyanya bagi kita sendiri. Jangan kita sombong mengata-ngatai orang “dikau sesat, kakanda, kembalilah ke jalan yang benar”, tapi kita juga terhempas ke dalam 72 golongan itu. Apa bedanya kalau begitu?
Tapi kalau tersesat di Baitullah tak apa. Justru itu yang kita inginkan. Bahkan selamanya di Baitullah;  Baitul Atiq pada teks kitab-kitab terdahulu, Rumah Lama, atapnya Langit Dunia…
Salam.

Gegen W.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s