Aku mendapat kabar bahwa peringatan Hari Jadi Luwu dan Perjuangan Rakyat Luwu akan dimeriahkan oleh atraksi Sukhoi dan terjun payung oleh TNI. Rasanya ingin sekali pulang. Namun satu kegiatan yang tidak kutemukan dalam rundown kegiatan yakni seminar, kembali mengurungkan niatku pulang ke Luwu Timur.
Entah mengapa, seminar tidak menjadi bagian dari kegiatan-kegiatan penting di kampungku. Padahal harapanku, dengan adanya seminar itu, bisa melahirkan rekomendasi-rekomendasi yang dapat mendukung proses pencapaian tujuan yang diinginkan.
Misalnya Festival Danau Matano menuju Warisan Dunia. Tentu hasil rekomendasi seminar atau workshop akan sangat mendukung, sebagai catatan risalah hasil diskusi panjang. Namun kegiatan itu justru dihilangkan menjelang pelaksanaan kegiatan. Demikian juga dengan keinginan untuk membentuk Provinsi Luwu Raya. Tentu saja rangkaian proses ke arah pembentukan provinsi itu dapat di dukung oleh rekomendasi seminar atau workshop. Juga dihilangkan saat akan pelaksanaan kegiatan.
Entahlah, mengapa aku melihat bentuk-bentuk perayaan penting di kampungku, lebih condong ke arah hura-hura. Hanya memuaskan mata sejenak yang kemudian kenikmatan itu akan hilang begitu saja. Mungkin aku salah memaknainya. Tapi kulihat tidak ada upaya mendukung pada pemanfaatan event sebagai sebuah wadah menyampaikan maksud atau pesan yang tersurat yang lebih konkrit.
Ternyata harapanku justru terpenuhi di ibukota. Undangan dari Kerukunan Keluarga Tana Luwu (KKTL) menjadi pemuas dahagaku. Seminar budaya Tana Luwu menjadi jawab dari harapanku. Bahkan menghadirkan tokoh Tana Luwu yang dinantikan Andi Anthon Pangerang. Beliau dipanel bersama budayawan Betawi Ridwan Saidi, Budayawan Nasional Anwar Gonggong dan juga menghadirkan Mayjen TNI (Purn) Dr. Putu Sastra Wingarta dalam konteks bahasan Bela Negara dan Kewaspadaan Nasional Rakyat Luwu atas ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Seminar Sehari ini berlangsung di Gedung Lembaga Sensor Film, Jakarta Selatan. Tepat dilaksanakan usai kami melakukan ziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Ada lima tokoh sentra Tana Luwu yang dimakamkan di TMP ini. Pertama-tama kami berziarah ke makam Alm. Yusuf Setya, orang pertama yang menembak pada perlawanan rakyat Luwu 23 Januari 1946. Lalu kami ke makam Alm. Kapten Andi Abdul Azis Malebbi (1999), Alm. Kolonel HR MS Dawoed (1993), Alm. Herman Rante dan Alm. Laksamana Rudolph Kasenda.
Akh, mengapa nama-nama itu tidak pernah kami dengar di Tana Luwu? Mengapa hanya para sepuh dan keluarga yang mengetahui perjuangan heroik yang mereka lakuķan untuk NKRI? Mereka adalah pejuang yang tidak menuntut balas jasa, tetapi dengan mengenang mereka tentu dapat meningkatkan kecintaan kita sebagai generasi muda akan Tanah Air kami, menumbuhkan rasa persatuan dan harapan untuk melanjutkan perjuangan mereka dalam memerdekakan diri dari segala bentuk penjajahan dan penindasan.
Bung Karno pernah mengingatkan, “Jangan pernah melupakan sejarah”. Tentu.. karena sejarahlah yang membentuk kita hari ini. Bagaimanapun bentuk sejarah itu. Namun sejarah itu pasti akan terputus jika tidak disampaikan kepada generasi muda pelanjut. Sejarah itu hanya akan menjadi kenangan jika nilai-nilainya berhenti pada pelakunya saja.
Sebagaimana terhelaknya saya ketika mendengar dari budayawan Betawi tentang power system yang menjadi kedigdayaan abad Tana Luwu yang tidak pernah diceritakan secara nasional. Tentunya lebih karena “Tidak mudah mencari tempat Luwu dalam sejarah, karena sumber-sumber tertulis hampir tidak ada” gusar Ridwan Saidi.
Padahal jika kita merujuk pada sejarah-sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan sebagaimana yang di tuliskan dalam Naskah I La Galigo (Sure’ Galigo) tentang penjelasan silsilah Raja-Raja Luwu selama kurleb 5 generasi pertama. Dimana mereka memiliki hubungan geologis dan sosiologis antara Pajung atau Raja-Raja Luwu dengan berbagai Raja lainnya di Nusantara ini. Seperti yang dijelaskan Andi Anthon Pangerang.
Merujuk pada makalah Andi Anthon Pangerang disebutkan, Kronik Kedatuan Soppeng menyebut Raja-Raja atau Pajung Luwu sebagai pendahulu Raja-Raja Soppeng, demikian pula kronik Kerajaan Bone. Dalam kronik Kerajaan Gowa, Kerajaan Gowa pertama kali diperintah oleh Batara Guru, sebelum Raja Gow pertama Manurungge Ri Tamalate. Pun kronik Gorontalo yand dipimpin oleh Wadeng atau Wadda.
Hal yang sama juga berlaku di Bima yang merupakan keturunan dari Sawerigading, Batara Lattu dan Batara Guru dari Kedatuan Luwu, di kerajaan Buton, Muria, Enre, dll. Bahkan hubungan dengan Kedatuan Luwu juga sampai ke kerajaan Menpawa, Sambas, Pontianak di Kalimantan Barat, ke kerajaan Riau dan Jambi di Sumatera bahkan beberapa kerajaan di Semenanjung Melayu. Hal inilah yang meyakinkan Andi Anthon Pangeran sehingga menyebut Sure’ Lagaligo sebagai Naskah Pra Sejarah selain melihatnya sebagai Naskah Mythologi Religi dan Naskah Karya Sastra.
Sementara penjelasan Mayjen TNI (Pur) Putu Sastra Wingarta lebih menitikberatkan pada integrasi bangsa. Bagaimana melihat revitalisasi nilai kejuangan Rakyat Luwu 1946 sebagai suatu kesatuan untuk Integrasi Bangsa. Perlunya menanamkan nilai-nilai kesatuan, solidaritas NKRI sehingga terwujud masyarakat yang adil dan sejahtera dalam payung keadilan. Karena ancaman terbesar bagi bangsa Indonesia saat ini adalah disintegrasi bangsa, yang perlu dikelola dengan hati-hati sejalan dengan pluralitas berdasarkan warisan budaya, agama, bahasa, sejarah dan tradisi.
Pernyataan-pernyataan panelis ini dikunci oleh budayawan Anwar Gonggong, yang sempat juga beradu pendapat dengan Ridwan Saidi tentang pembohongan publik rekam jejak sejarah Indonesia, dimana kadangkala kita sendiri tidak mengerti makna ketika menyampaikan sebuah latar sejarah. Sehingga kita hanya bisa mereka-reka yang terjadi di masa lalu. Banyak sejarah yang tidak tercacat, hanya tersimpan pada benak sang pelaku. Meskipun itu diceritakan secara turun temurun, tetap saja tidak bisa menjadi acuan sampai dia didukung dengan bukti-bukti konkrit.
Sehingga menjadi peer kita bersama, bagaimana sejarah kedigdayaan peradaban Luwu ini harus diajarkan kepada generasi muda kita karena pendidikan dan kebudayaan itu tidak bisa dilepaskan. Mereka harus seiring sejalan. Karena Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai Budayanya. Kita bisa saja mempelajari budaya lain, bisa saja menciptakan budaya baru dari sistem.pencampuran budaya seperti halnya akulturasi tetapi inti nilai budaya yang kita miliki harus tertanam sebagai cikal bakal budaya itu sendiri.
Sebuah mangga, meskipun ditanam dengan metode biji, cangkok maupun tanam silang dan menghasilkan beraneka ragam jenis mangga, tetapi tetaplah dia sebuah mangga. Sampai kapanpun, dia adalah mangga.
#catatanvie
la_vie