Tentang Asap

Gila aja… seperti latah, kampungku juga ikut-ikutan memeriahkan rangkaian asap di udara. Ternyata bukan di Sumatera dan Kalimantan saja yang bisa, di kampungku Luwu Timur, di kaki pegunungan Verbeck juga tidak mau ketinggalan akhirnya diberitakan media tentang kondisi asap hasil dari pembakaran lahan.

Sungguh aneh tapi nyata. Kita sering berkoar-koar tentang kondisi di daerah lain, tapi membuat kondisi yang sama bahkan lebih parah di tempat sendiri. Seperti pepatah, tampak semut di ujung samudera sementara gajah di pelupuk mata tak tampak sedikitpun.

Sebelum-sebelumnya, kasus asap hanya terdengar di pulau Sumatera dan Kalimantan saja, yang bahkan sempat mempengaruhi hubungan antara pemerintah Republik Indonesia dan  Singapura juga Malaysia. Dan ternyata hal itu dikarenakan upaya pembakaran lahan yang dinilai sangat ekonomis oleh masyarakat Indonesia dalam program pembukaan lahan pertanian maupun ladang untuk perkebunan kelapa sawit.

Tak dinyana.. perbuatan ini justru mendapatkan perlindungan hukum dengan adanya peraturan pemerintah daerah setempat sebagai dampak dari desentralisasi otonomi daerah. Ketika pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memberikan izin, maka dengan perhitungan dampak ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungannya, izin pun diberikan.

Satu KK diberikan lahan 2 hektar yang dapat dibuka secara tradisional seperti dibakar, maka dari 100 KK menjadi 200 hektar lahan terbuka untuk kelapa sawit. Ekonomi masyarakat setempat naik, pengusaha mendapat 200 hektar lahan secara murah karena sistem pembukaan lahan tidak memerlukan biaya yang banyak, Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat dan negara juga untuk dari nilai ekspor. Semua senang sampai akhirnya menangis, mengutuk bahkan sampai membully pemerintah pusat karena dampak asap yang ditimbulkan karena kondisi alamnya berlahan gambut dan makanan yang gurih penyubur penyebaran api.

Apakah kondisi ini yang kita harapkan di Luwu Timur? Karena nilai ekonomis, hutan yang menjadi penampung air danau tektonik kita dibakar hanya karena harga merica yang tinggi. Masyarakat hanya melihat, karena merica, mereka bisa seenaknya membakar hutan. Kita bicara tentang kemakmuran versus lingkungan. Siapakah yang akan  bertanggung jawab ketika tanah itu longsor? Ketika hutan itu terbakar dan meninggalkan luka karena korban seperti yang terjadi di Riau?

Apakah kita akan menyalahkan pemerintah daerah? Atau pemerintah pusat? Atau bahkan kepada perusahaan tambang PT Vale dengan isu tenaga kerja atau Corporate Social responsibility (CSR)? Sementara, kondisi itu kita ciptakan, kita biarkan, bahkan mungkin milik dari elite-elite di daerah.

Kita selalu meminta perusahaan-perusahaan raksasa seperti PT Vale untuk menjaga lingkungan kita, lantas mengapa kita sendiri yang merusaknya? Baru saja kita bisa bernafas dengan penanganan illegal lodging yang pada dasarnya hanya menebang pohon-pohon besar bernilai ekonomis di hutan, eh sekarang kasus pembakaran lahan, yang justru menghilangkan semua tanaman yang ada dibatas lahan.

Sungguh miris, ketika bercerita dengan kawan-kawan yang baru saja tiba dari Malili, ibukota kabupaten Luwu Timur, bahwa hutan kota di belakang kantor bupati Luwu Timur habis diludes api beberapa pekan laku. “Gunung Lampenai yang biasa kita lihat dari depan kantor Bupati sudah tidak nampak selain cokelat kehitaman,” jelasnya. Sedihku mendengarnya.

Begitulah kita, kadangkala, nilai ekonomis menjadi tumpuan sementara lingkungan kita hancur. Padahal lingkungan itu untuk keberlangsungan masa depan daerah kita sendiri, yang kalau tidak kita jaga, lantas, siapa?

#RenunganVie

la_vie

One thought on “Tentang Asap

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s