Libur telah tiba. Saatnya mengepak semua barang-barang, terutama kamera, backpack berisi kelengkapan seminggu, modem wifi yang full charge.
Bertiga Dwi, Fatimah dan diriku pun meninggalkan Jakarta pukul 16.45 menggunakan JT 782 menuju Makassar, ibukota Sulawesi Selatan. Tiba di Makassar kami dijemput lalu diajak makan ke Pangkep, menikmati ayam goreng kampung lengkap dengan lalapannya.
Perjalanan pun dimulai. Tujuan kami adalah Toraja dengan melewati Barru, kota Pare-Pare, Sidrap, dan Enrekang. Memang perjalanan malam yang kami tempuh tidak menyisakan sedikitpun panorama selain indah lampu-lampu perbatasan.
1. Rumah Nenek di Cakke, Enrekang
Begitu tiba di Enrekang, aku sempatkan singgah di rumah kakek dan nenekku. Al-Fatihah buat mereka berdua. Meskipun yang tinggal di rumah itu sekarang adalah adik ibuku, tapi kenangan bersama kakek dan nenekku tidak akan pernah hilang. Betapa aku merindukan mereka, suara burung tekukur, goreng pisang buatan nenekku dan petuah-petuah yang dulu sering aku dengar dari mereka.
2. Lolai – Negeri diatas Awan Toraja
Rasa excited akan perjalanan ini membuatku tak merasakan capek membawa mobil. Laju mobil yang terus akhirnya membawa kami tiba saat pagi masih menyapa Toraja. Aku bertemu rombongan kakakku saat mereka sudah siap menuju Negeri Diatas Awan, sebuah kampung yang menjadi terkenal saat postingan-postingannya ditemukan bertebaran di media sosial (medsos).
Perjalanan menuju kampung Lolai cukup menguji nyali. Pendakian di jalan berbatu yang kecil dan menikung tajam memjadi tantangan tersendiri dalam perjalanan. Namun, semua itu terbayar saaat kami tiba di puncak Lolai. Kami benar-benar berada di tanah yang lebih tinggi dari awan putih yang berarak.
3. Kete Kesu Toraja
Usai berbenah dan istirahat sejenak di Heritage Hotel, petualangan di kota sejarah ini pun kami lanjutkan. kete Kesu yang letaknya tidak jauh dari hotel tempat kami menginap. Beberapa kali berkunjung ke tempat ini, tetap saja membuat saya terkagum-kagum dengan pelestarian budaya Toraja.
Kete Kesu merupakan pemakaman tertua di Toraja. Memasuki lokasi ini kita akan menemukan sederetan rumah adat Toraja yang disebut Tongkonan. Tongkonan ini dijadikan rumah persinggahan sementara sebelum mayat-mayat dikuburkan.
Masuk lebih dalam lagi, kita akan melewati hutan bambu, lalu akan bertemu dengan bangunan kayu berbentuk rumah dan gentong yang juga merupakan makam. Suasana sedikit mistis ketika memasuki wilayah pekuburan ini, apalagi kita akan melihat peti-peti mati yang diperkirakan berusia hingga ratusan tahun dengan tengkorak-tengkorak yang berserakan di atasnya.
4. Londa Toraja
Di Toraja, mayat tidak dimakamkan di tanah melainkan pada dinding batu yang dilubangi, batang pohon-pohon besar, gua, ceruk pada tebing atau bangunan khusus untuk menaruh peti mati.
Lokasi pemakaman lain adalah Londa. Londa terletak di Desa Sandan Uai, kecamatan Sanggalangi. Kurang lebih 7 kilometer selatan kota Rantepao. Di Londa, kita melihat pemakaman di dalam gua. Untuk memasuki gua, kita bisa menggunakan jasa anak-anak muda dengan lampu petromax yang telah mereka siapkan untuk membantu para pengunjung yang ingin masuk ke dalam gua.
Sedikit seram saat memasuki gua Londa, kita akan melihat tengkorak-tengkorak yang berserakan namun tetap tertata. Ada pengaturan tinggi rendah tempat penyimpanan peti-peti mati berisi tengkorak disesuaikan dengan garis keturunan dan keluarga, meskipun harus ditumpuk.
5. Makale Toraja
Sedikit memutar ke kota Makale, kami menyempatkan singgah ke monumen Pemenang Trophy Isabella di Pasadena ‘The Winner of Isabella Coleman Trophy at Tournament of Roses, Pasadena U.S.A 1991′ sebelum kembali ke Heritage Hotel di Rantepao.
6. Hellow Tomorrow Heritage
Kembali ke Toraja Heritage Hotel, kami menanti pergantian tahun diawali dengan makan malam bersama rombongan Tonasa ditemani penampilan band Lokal Toraja, DJ Wilma dan DJ Asky di panggung Hellow Tomorrow ditutup dengan gempita kembang api yang betsahutan di seluruh Toraja.
7. Baby Grave Toraja
Belum puas rasanya mengelilingi Toraja, kami pun belok kiri setelah jembatan mengarah ke Sangalla. Maka terpisahlah kami dari rombongan lainnya yang lebih dulu sudah menuju Makassar. Tujuan kami adalah melihat metode pemakaman lain di Toraja, yakni pekuburan bayi yang diletakkan paa pohon-pohon besar yang disebut ‘baby grave’. Nenek Isa yang memandu kami di pemakaman bayi ini bercerita bahwa pohon yang digunakan sebagai makam itu adalah pohon cempedak, seperti buah nangka namun lebih kecil dan sangat manis. “Bayi-bayi tidak dimakamkan di gua atau dinding batu, tetapi di pohon karena mereka harus dijaga.” jelasnya.
8. Makam Suaya Toraja
Lanjut dari Baby Grave kami menuju makam Suaya, pemakaman batu untuk para Raja-Raja Sangalla.
9. Monumen Burake Toraja
Satu monumen lagi yang menjadi tujuan wisata di Makale Toraja adalah replika Yesus di puncak Burake, Makale. Cukup berliku untuk sampai di monumen ini. Jalanan yang berbatu dan tikungan tajam yang senantiasa membuat kita berhati-hati terutama saat bertemu dengan kendaraan lain dari arah berlawanan. Belum lagi begitu tiba, kita harus sabar menunggu parkiran karena pengunjung yang padat. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri anak-anak tangga hingga mencapai monumen. Huffff sungguh luar biasa perjuangan mencapai monumen Burake ini.
Namun, segala letih segera terbayarkan saat kita mencapai monumen. Sebuah pemandangan yang luar biasa, terhampar di depan mata, sungguh suatu keagungan Ilahi.
10. Lights of Pare-Pare
Meski masih banyak objek wisata yang belum kami kunjungi, namun perjalanan tetap harus dilanjutkan. Apalagi rombongan lain sudah jauh meninggalkan kami. Jadi dengan berat hati, kami pun meninggalkan Toraja menuju Makassar.
Dalam perjalanan melewati Enrekang, kami juga menyempatkan menyapa keluarga besar di Sudu, alhamdulillah Paman, Bibi dan keluarga semua sehat walafiat. Tetap saja, pandangan mata kami menghentikan sejenak perjalanan untuk sekedar mengabadikan moment yang kami lewati.
Begitupula saat kami tiba di Pare-Pare, rumah jabatan Walikota menjadi salah satu tempat persinggahan juga monumen cinta Habibie dan Ainun.
11. Balla Lompoa Gowa
Rasa excited masih terasa, sehingga lelah pun tersamarkan. Meski kami tiba hampir jam 5 pagi, jam 7 kami telah bersiap menuju kota wisata Malino. Namun dalam perjalanan kami menyempatkan singgah ke Balla Lompoa atau rumah adat Gowa.
12. Hutan Pinus Malino
Perjalanan pun berlanjut, kami akhirnya tiba di Malino. Sedikit ada hambatan di jalan, namun tidak menyurutkan semangat untuk berpetualang dengan menunggang kuda lokal di hutan pinus Malino.
Dan petualangan kami pun harus berakhir, karena Dwi dan Fatimah sudah harus kembali ke Jakarta dan aku sendiri akan melanjutkan perjalanan ke Luwu Timur.
Sampai ketemu lagi dalam perjalanan kami selanjutnya…. Happy Reading dan Jangan Lupa Bahagiamu di tahun 2017 dan seterusnya….
#viestory
#ceritavie