CATATAN MTKL 2018

Ternyata, ada juga catatan saya untuk pelaksanaan MTKL 2018. Dari ketidaksiapan pelaksanaan hingga pelaksanaan “nekad” yang menciptakan banyak drama.

Pertama, Mulai dari orang-orang yang “PECCU”

Kedua, Kerja yang menjadi tidak profesional

Ketiga, Manajemen Tukang Sate

Keempat, Kamuflase 🙊

Kelima, Manajemen Tertutup,

Keenam, kurangnya budaya “BERBAGI”

Ketujuh, sebaiknya Dewan Adat Kedatuan Luwu lebih memegang peran sebagai pengawas, bukan pelaksana.

Kedelapan, perlu dokumentasi dengan baik.

Kesembilan, Perlu disadari, apapun yang kita lakukan, tentu akan mendapat penilaian dari orang lain.

Kesepuluh dalam catatan kami, lebih mengedepankan dugaan dan prasangka daripada saling mensupport satu sama lain. Baru kali ini saya mengikuti sebuah kegiatan, dimana Ketua Tim lah yang membuat laporan persiapan kepada para koordinator kegiatan, bukankah semestinya koordinator yang melaporkan progres kepada Ketua hehehe.

Tabe kapolo, hasil evaluasi saya ini bukanlah sebuah kebenaran mutlak, tentu bisa didiskusikan sebagaimana setiap tindakan memiliki alasan dan argumentasi. Cukup dijadikan catatan, tanpa upaya untuk mendiskreditkan. Mari mengambil hikmah dari setiap kejadian. 🙏🙏🙏

MATTOANA MTKL 2018

Usai Kirab Budaya Matemmu Taung 2018 di sore hari, kegiatan di Istana Langkanae Kedatuan Luwu dilanjutkan dengan pembacaan Barzanji. Barzanji ini dilakukan sebagai pengucapan doa kesyukuran yang berisi puji-pujian kepada junjungan Rasulullah SAW, sebagai teladan manusia.

Usai Sholat Magrib, para Raja se-Nusantara kembali hadir di Istana Langkanae Kedatuan Luwu untuk jamuan Makan Malam secara adat atau Mattoana. Sebelum jamuan untuk To PapoataE Datu Luwu dihidangkan, Maddika Bua mewakili Kedatuan Luwu mengucapkan selamat datang kepada para Raja Se-Nusantara yang telah hadir dalam perhelatan Matemmu Taung Kedatuan Luwu 2018.

Selanjutnya, To PapoataE Datu Luwu mendapat persembahan dari orang Toraja sebagai pertanda kecintaan mereka kepada To PapoataE Datu Luwu.

Selanjutnya, hadirlah dua belas gadis belia yang dipimpin oleh sepasang muda mudi yang bertugas untuk menyerahkan dua belas AKKA atau suguhan kepada To PapoataE Datu Luwu. Dalam jamuan ini, To PapoataE Datu Luwu disuguhi “AKKA” (suguhan) berupa 12 bosara kiaje yang masing-masing dibawa oleh seorang gadis “PANGGOLO” (pelayan).

Didalam acara Mattoana ini, berlaku kaidah adat Luwu yang mengatakan “Maggati maneng akka rakkinna to Maegae” yang berarti bahwa akka seluruh para (undangan) yang hadir mengikuti Akka dari To PapoataE Datu Luwu. Yang berarti bahwa apabila Akka dari To PapoataE Datu Luwu telah dianggap sempurna secara adat, maka tidak seorangpun yang boleh protes atas AKKA (suguhan) bagi dirinya. Itu adalah simbol bahwa kehadiran To PapoataE Datu Luwu adalah simbol keharmonisan dan ketertiban sosial.

Sambil menikmati suguhan (AKKA) hadirin dihibur dengan pertunjukan tari Pajaga. Dimana esensi dari gerak dan irama tari Pajaga adalah sebagai latihan meditative (semedi) berupa pengendalian diri, membangkitkan kepekaan (sensitiveness) serta membangkitkan tenaga atau energi batin penarinya.

Tarian Pajaga yang ditampilkan pada MATTOANA MTKL2018 ini berjudul Ininnawa Mappatakko – sesuai syair dari pengiringnya sebagai berikut:

Ininnawa mappatakko

Alai-pakka waru

Toto teng-lessangmu

Yang secara bebas berarti:

“Tabahlah wahai jiwa

Jadikanlah pegangan hidup

Bahwa segala yang menimpa dirimu

Adalah takdir dari Yang Maha Kuasa

Yang tidak dapat dielakkan.

Setelah tari Pajaga, diikuti oleh pertunjukan tari Palili, lalu dilanjutkan dengan tampilan tari Sajo yang ditarikan oleh dua orang gadis yang suci. BIasanya tari Sajo ini diberi hadiah “ri cebbang” oleh kerabat dan handai taulan. Yang ditafsirkan oleh para hadirin sebagai refleksi “citra kepribadian” sang penari. Semakin banyak orang yang ‘Macebbang” semakin baik reputasi sang penari.

Usai tarian Sajo, maka para Pangngolo akan mengambil kembali bosara yang hidangannya telah disantap dan berlalu dari hadapan To PapoataE Datu Luwu juga hadirin yang dijamu.

Usai pelaksanaan Mattoana dan para tamu undangan telah meninggalkan Istana Langkanae Kedatuan Luwu, kegiatan di Istana dilanjutkan dengan Maddoja Roja atau berjaga semalam suntuk. PRosesi adat ini secara harfiah bermakna menjaga kesadaran atau Paringerrang yang dalam masyarakat Luwu dianggap memiliki kekuatan Adil Kodrati.

Acara Maddoja Roja juga dimaknai sebagai semedi (meditasi) secara kolektif di malam hari untuk menyempurnakan “kesadaran kolektif” dari rumpun keluarga Kedatuan Luwu sebelum melaksanakan acara adat keesokan harinya.

Inti acara Maddoja Roja adalah pembacaan Hatmul-Hauj atau Matemmu Lahoja. Yakni pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran sera tata cara melakukan Matemmu Lahoja sebagaimana yang telah disusun oleh Datok Sulaiman yang diberikan kepada Datu Luwu untuk dibacakan pada setiap kesempatan demi mendoakan keselamatan dan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat Luwu.

Ayat-ayat suci Al-Quran yang dibaca ribuan kali oleh sembilan (9) ulama. Selama pembacaan doa tidak seorangpun dari kesembilan ulama tersebut boleh mengucapkan kata-kata selain rangkaian ayat-ayat suci Al-Quran. Apabila ada seorang pembaca yang melanggar ketentuan tersebut maka pembacaan harus dimulai lagi dari awal.

Sesudah membaca ayat suci maka kesembilan ulama membacakan doa dan kemudian dilanjutkan dengan sholat berjamaan 2 (dua) rakaat. Acara ini diakhiri dengan memakan manisan secara bersama-sama. Semoga kehidupan seluruh lapisan masyarakat Adat Luwu semakin terus makmur dan sejahtera di bawah Rahmat dan hidayah Yang Maha Pengasih.

Next : SEMINAR BUDAYA MTKL 2018

KIRAB BUDAYA MTKL 2018

Pagi yang cerah. Apalagi sarapan yang disuguhkan di kota sejarah ini luar biasa.

Rasanya masih ingin berlama-lama meluruskan badan namun aktivitas hari ini telah menanti. Kegiatan Matemmu Taung Kedatuan Luwu 2018 akan launching hari ini, dimulai dengan Kirab Budaya. Namun sebelum ke istana, aku bersama Ketua Panitia MTKL 2018, Brigjen TNI Muslimin Akib juga sohibku Mardiani Pandego terlebih dahulu melakukan penjemputan raja-raja Nusantara yang tiba di Bandara Bua.

Setelah penjemputan itu, para raja-raja ini dihantarkan ke hotel Agro Wisata Palopo untuk bersalin pakaian kemudian diantarkan ke Istana Langkanae Kedatuan Luwu guna menyaksikan pembukaan MTKL 2018 dan Kirab Budaya.

Tampak diantara raja-raja yang hadir, diantaranya Pringgo Husodo dari Pakualam, Ratu Noerlizah Nurdin dari Kepulauan Riau, Sulthan Aji M Heriansyah Andrian Sulaeman dari Kesultanan Paser, Andi Bau Sawerigading Addatuang Sawitto dari Pinrang, Andi Pamadengrukka Mappasomba dari Makassar, Amsal Sampetondok dari Walmas, Andi Fatimah Bau Massepe dari Suppa, Hj. Andi Farina Karaeng Bau dari Selayar, Andi Mapparessa dari Makassar juga hadir tamu dari luar negeri seperti Pangeran Haji Muhammad Syah dari Brunei Darussalam dan Tengku Shawal dari Singapura.

Kirab budaya Tana Luwu diikuti sekitar 1.500 peserta dari 12 anak Suku Kerajaan Luwu, yakni, To Ugi (Bugis), To Ware, To Ala, To Raja, To Rongkong, To Pamona, To Limolang, To seko, To Wotu, To Padoe, To Bajo dan To Mengkoka.

Kirab Budaya dimulai pada pukul 13.00 dengan rute yang ditempuh kurang lebih 2km. Garis start dari Lapangan Pancasila di jalan Sudirman, menuju Jalan Andi Djemma, lalu belok kanan ke Jalan Yusuf Arif dan belok kiri ke Jalan Landau. Pasukan Istana Langkanae Kedatuan Luwu mengelilingi istana sebanyak 3 (tiga) kali lalu dilanjutkan oleh peserta kirab lainnya menuju Istana langkanae Kedatuan Luwu termasuk didalamnya adalah air suci dari Manjapai yang sehari sebelumnya disemayamkan di baruga Maddika Bua.

Kerajaan Luwu merupakan kerajaan yang dituakan diantara tiga kerajaan “TellumpoccoE” atau Tiga Kerajaan Utama di Sulawesi Selatan, yakni Kerajaan luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Dalam naskah Mitologi Lagaligo disebut bahwa: Silsilah cikal bakal Pajung atau Raja-Raja Luwu dimuai dari To PalanroE (Yang Maha Menciptakan) atau Patoto’E (Yang Maga Menentukan Nasib) yang bersemayam di Kayangan, di puncak langit ke tujuh (Botinglangi) bersama permaisurinya Palinge’E (Yang Maha Mengatur). Putera tertua bernama La Togelangi Batara Guru Sangkuru’ Wira’ diturunkan di muka vumi (Attawareng) yang kemudian menjadi Pajung Luwu pertama. Baginda digantikan oleh puteranya yang digekar I Hati Uleng Batara Lattu opunna Ware’. Baginda Batara Lattu kemudian melahirkan Sawerigading yang masyhur sebagai “Cultural Hero” (Pahlawan Budaya) bagi masyarakat Sulawesi Selatan.

Susunan Pasukan Kerajaan Luwu

  1. Pada bagian terdepan barisan kirab adalah PANGNGARU’ atau pasukan tempur yang terdiri dari kesatuan-kesatuan Para Anak Suku Palili yang pada Kirab kali ini oleh pasukan Pangngaru’ To Rongkong,
  2. Sesudah itu menyusul pembawa SULOLANGI, yaitu semacam obor penolakan marabahaya,
  3. Kemudian menyusul pembawa BESSI BANRANGA atau tombak pengawal sebagai simboljabatan resmi dari Kerajaan Luwu,
  4. Sesudah itu menyusul pembawa BESSI MANRAWE atau tombak pengawal sebagai simbol kedudukan tertinggi dalam Kerajaan Luwu yaitu Pajung Luwu,
  5. Sesudah itu menyusul pembawa BESSI PAKKA (Tombak Bercabang Dua) yang merupakan simbol kekuasaan politik tertinggi dalam Kerajaan Luwu, yaitu Pajung Luwu yang merupakan Penguasa Tunggal mewakili Dewata Mattanrumpulaweng-E (Dewata Bertanduk Emas) yang merupakan Dewata Tertinggi menurut mitologi Luwu
  6. Payung berwarna Kuning yang disebut “TEDDUNG PULAWENG” adalah payung kebesaran yang dipakai untuk mengiringi Datu Luwu,
  7. LELLUNG, yang digunakan oleh Datu Luwu untuk menghindarkan sinar matahari,
  8. Payung berwarna merah yang disebut “TEDDUNG PEROE(Payung MaEja) adalah payung yng digunakan untuk prosesi pelantikan Datu Luwu,
  9. PAKKALIAWO’ merupakan pasukan pengawal pribadi “Opu Cenning” atau Panglima Perang. Pasukan pengawal ini berjumlah 12 orang dengan menggunakan “KALIAWO” atau Perisai dengan logo “Singkerru Mulajaji” simbol Panglima Perang Kedatuan Luwu. Karena itu pasukan ini disebut PAKKALIAWO,
  10. Kemudian menyusul BATE-BATE’ TELLLUE yang terdiri dari: (a) Matoa Wate’ (b) Matoa Lalengtonro’ (c) Matoa Cenrana
  11. Selanjutnya menyusul bendera ANA’ TELLUE yang terdiri dari: (a) Mokole Baebuntan (b) Ma’dika Bua (c) Ma’dika Ponrang,
  12. Sesudah itu menyusul BENDERA TELLUE (Tiga Bendera Utama) yang masing-masing: (a) Macang-NgE (b) Kamummu-E (c) Goncing-E. Yang merupakan bendera kesatuan dari Pasukan Inti atau Pasukan Elit Kerajaan Luwu.

Setelah pasukan Kedatuan, berlanjut pasukan kirab dari Mokole Baebunta yang dipimpin langsung oleh We Masita Kampasu.

Disusul rombongan kirab budaya Kemaddikaan Bua dipimpin langsung oleh Maddika Bua La Saifuddin Kaddiraja bersama dengan beberapa Rumpun Maddika Bua, diataranya: Palempang Walenrang, Panggulu Kada Ilang Batu, Panggulu Kada Siteba, Panggulu Kada Lemo Tua, Panggulu Kada Bolong, Panggulu Kada Tombang beserta para Tomakakanya, Para Warga Tana Toraja Perantau Irian, Banua A’pa Tongkonan Annang Pulona beserta beberapa Parengngenya.

Disusul Kirab Budaya Kemaddikaan Ponrang dipimpin langsung oleh La Sana Kira (Maddika Ponrang) bersama dengan beberapa Parengnge dan Tomakakanya, diantaranya Parengge Padagusi Rante Balla yaitu Pa’Lairan Kanna serta Tomakaka Ulu Salu.

Selanjutnya Lili Pasiajing yang terdiri dari: Mokole Matano (Nuha) yang dipimpin langsung oleh Andi Baso dan sebelas wilayah Moholanya, Arung Senga dan Maddika Sangalla

Selanjutnya Kirab Budaya dari Tana Wajo Belawa.

Kehadiran Pasukan Kirab Keraton Kedatuan Luwu menggambarkan Ikatan “Maseddi Siri‘ yaitu Kemanunggalan dalam Keanekaragaman yang mengikat masyarakat Luwu dalam Prinsip Bhineka Tunggal Ika (Unity in Diversity).

Next : MATTOANA MTKL 2018