Dia masih muda dan cantik, jauh dari bayanganku tentang seorang wanita sepuh yang bisa melantunkan bait demi bait dalam kitab kuno I La Galigo (sure’). Kitab ini merupakan pedoman hidup pembelajaran masyarakat Luwu dan Bugis sebelum Islam diterima sebagai agama ilahi di tanah Luwu. Bahkan masih ada penduduk Bugis yang masih memedomani kitab ini di sekitar kabupaten wajo sebagai pedoman hidup. Mereka disebut To Lotang.
Sedikit pendiam menurutku, tidak banyak berbicara, suaranya halus dan sungguh menyejukkan. Sebuah kacamata kerap menjadi teman perjalanannya. Gemulai gaya jalannya menempatkan dirinya pada derajat kebangsawanan Luwu. Namanya Andi Nilaferawati Opu Tari.
Entah mengapa rasa ini tak dapat kubendung ketika mendengarkan sedikit cuplikan suaranya ketika massure’ atau melantunkan ayat / sure’ lontara La Galigo. Berdiri bulu kuduk, bergetar hati ini, entah apa arti sure’ yang dibacanya, namun sangat berbekas dalam hati. Lalu dia pun menjelaskan beberapa ritual sebelum memulai membaca sure’ La Galigo.
“Sama halnya berwudhu ketika kita hendak sholat, maka yang pertama dilakukan sabagai syarat sahnya massure’ adalah menyucikan diri dengan melakukan puasa muteh dan maccera” jelas Andi Nila. Puasa muteh yang dimaksud adalah puasa sehari sebelum massure’ dengan hanya memakan semua makanan yang putih, seperti nasi putih, putih telur dan minum air putih.
Setelah puasa muteh, berikutnya dilanjutkan dengan ritual Maccera. Andi Nila menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan maccera adalah menyembelih sepasang ayam jantan dan betina.
“Tapi maccera itu sangat tergantung pada besar kecilnya acara yang dilakukan.” Jelas Andi Nila. Dia mencontohkan ketika Bissu Saidi dari Barru diminta untuk massure’ oleh Robert Wilson, sutradara pementasan I La Galigo yang berkeliling dunia. Sebelum mulai massure’ Bissu Saidi meminta agar dilakukan cera’ dengan mengorbankan seekor sapi karena acara besar. Namun permintaan ini tidak dipenuhi hingga akhir pementasan di Makassar.
Saat itu Bissu Saidi’ sempat mengungkapkan “iya’ naseng na kenna – saya mi pasti yang dikenna’ yang dipercaya sebagai dampak tidak dilakukannya ritual maccera’ untuk pementasan. Wallahu alam, namun sekitar dua minggu dari pementasan terakhir I La Galigo di makassar, Bissu Saidi’ pun mangkat.
Hal mistis seperti ini pun kerap terjadi ketika awal-awal andi nila massure’ tanpa melakukan ritul. “Pernah sekali, saya massure’ tanpa melakukan ritual, paska massure’ saya pun tidak bisa melangkah beberapa bulan. Dipercaya atau tidak, namun hal itu membawa pelajaran untuk saya bahwa setiap kali saya mau massure’ maka saya harus membersihkan diri dengan ritual puasa muteh, maccera dan bersih hati,” jelasnya.
Belajar massure’ dilakukan pada tengah malam ketika seluruh makhluk hidup di dunia ini sudah diperkirakan terlelap dalam sepertiga malam. Dan ketika belajar, maka passure’ akan mengenakan baju bodo dan sarung yang yang keduanya berwarna kuning. Hal ini disebut massangiang, di dahului dengan mandi bersih.
Pertama kali belajar Massure’ tahun 2013, Andi Nila bahkan tidak mengerti bahasa Bugis, apalagi bahasa Lontara dalam kitab La Galigo. Tingkatan Passure’ yang tertinggi disebut Bissu. Dan Bissu pertama adalah saudara kembar Sawerigading yang bernama We Tenri Abeng dengan gelar Bissu Ri Langi’.
Perbedaan passure Luwu dan Bugis adalah di Luwu Passure’ itu adalah perempuan. Sedangkan di Bugis, passure’ itu laki-laki tapi kita lihat, secara mistis mereka akan berubah menjadi keperempuanan. Semakin tinggi tingkatan passure’nya maka laki-laki itu akan bertingkah menjadi seperti perempuan, bukan hal yang disengaja apalagi kalau tingkatannya menjadi bissuE maka laki-laki itu akan mengebiri dirinya sendiri. Mereka biasa disebut Calabai.
Perbedaan lainnya adalah kalau di Luwu hanya boleh ada satu Passure’. “Saya bisa mengajar massure’ ketika anre gurukku mangkat, atau ketika saya lebih duluan meninggal maka Anre gurukku bisa mengajar orang lain,” jelas Andi Nila.
“Massure’ itu berbeda dengan pelantunan biasa yang kita dengarkan yang disebut massaleang. Massure’ itu membaca sure’ La Galigo secara datar namun sangat dalam dan dilalui dengan ritual sedangkan massaleang itu melantunkan sure’ La Galigo seperti oramg bernyanyi dengan membaca sure’ Galigo yang bahasanya telah diubah namun memiliki arti yang sama dan tidak harus melalui prosesi ritual sebelum massure’.
Untuk massure’ ini biasa diiringi suling atau alat musik tradisional Sulawesi selatan keso’-keso’ yang alatnya mirip biola. Alat musik inilah yang memberikan ritme pada pembacaan sure’.
Kitab I La Galigo (sure’) dikenal secara dunia paska diakui UNESCO sebagai Memory of the World. Untuk melestarikannya, kitab I La Galigo ini diperkenalkan dalam bentuk pertunjukan teater I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat secara internasional pada tahun 2004.
Kitab I La Galigo tertulis dalam bahasa Luwu kuno ini bercerita tentang awal mula kerajaan Bumi dan seluruh peristiwa kehidupan, mulai dari pernikahan, bercocok tanam hingga perjalan cinta Sawerigading sang tokoh utama. Selain itu kitab ini memberikan gambaran tentang kebudayaan Luwu dan Bugis sebelum abad ke-14.
#renunganvie