Namanya Oshin

Tidak banyak yang aku ingat dari film serial TV asal Jepang ini, tapi juga susah untuk dilupakan mengingat kisah kehidupan yang dilakonkan oleh tokoh utamanya yang bernama Oshin. Kisah kehidupan yang ditampilkan secara apik, menggugah emosi pemirsa dan meninggalkan kesan yang begitu dalam tentang perjuangan hidup seorang perempuan Jepang dari kecil yang penuh penderitaan.

image

Aku ingat, dari serial tv itulah aku ingin merasakan apel Fuji karena warnanya pink dan belum pernah aku lihat sebelumnya di kampungku Sorowako. Dan betapa terperanjatnya aku ketika aku mencarinya di Gelael, sebuah supermarket di Makassar Sulawesi Selatan, ternyata buahnya sangat besar, lebih besar dari apel merah atau hijau yang sering aku makan. Dan harganya mahal sekali untuk sebuahnya.

image

Dari serial tv itu pula, aku jadi berangan-angan untuk melihat salju. Karena di film itu, aku melihat bagaimana kehidupan orang yang tinggal di daerah bersalju, yang sebelumnya aku pikir hanya ada di puncak gunung seperti cerita-cerita di Eropa, dimana orang-orang yang tinggal disitu rumahnya saling berjauhan. Hidup mereka mewah, dengan perapian di tengah rumah, selimut yang tebal dan sangat berbeda dengan kehidupan Oshin yang aku saksikan di serial itu yang serba susah. Tampak lebih nyata menurutku.

Hal yang tidak bisa lagi aku lupakan dari serial TV yang aku tonton saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar ini juga adalah bantal yang cuma sebuah kotak yang digunakan untuk menumpu leher. Sementara aku menggunakan bantal besar, belum bantal guling meski harus berbagi dengan saudara-saudaraku yang lain. Belum sendal nya yang terbuat dari jerami dan kayu sementara kami menggunakan sendal karet bahkan sepatu. Sungguh suatu gambaran kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan kami, yang masih sulit kupahami saat itu.

image

Namun pertemuan dengan pemeran Oshin kecil yang bernama asli Ayako Kobayashi di XXI Plaza Senayan hari ini, membuka lembaran kisah Oshin yang menyayat hati ini menjadi penuh makna. Dengan lugas dia bercerita tentang teknik pembuatan film Oshin ini, betapa scene moment perpisahan dengan ibunya, Fuji Tanimura yang paling berkesan dalam film ini. Dia harus naik rakit mengarungi sungai meninggalkan ibunya sambil memanggilnya kacang-kacang.*

image

Dan saat yang paling berat  menurut Ayako dalam proses pengambilan gambar adalah ketika adegan Oshin berjalan di tengah badai. Betapa bola-bola salju itu dikumpul dalam sebuah bucket lalu diletakkan di depan kipas besar dan diarahkan pada dirinya. Dan itu dilakukan seharian penuh.. brrrrr kebayang deh, menyentuh salju saja dah dinginnya luar biasa, di daerah salju itu mulut kita pun sampai mengeluarkan asap karena dinginnya, apalgi kalau dengan sengaja diterpakan angin salju…

image

Lalu Ayako juga bercerita tantangan saat pengambilan gambar adalah dialek bahasa yang digunakan. Bagaimana dia sebagai anak Tokyo harus berbicara dalam dialek Yamagata karena Oshin diceritakan sebagai gadis kecil dari Yamagata. Sedikit susah menurut dia, apalagi saat itu dia masih kecil ketika memerankan Oshin.

Kehidupan keras yang menempa Oshin kecil menjadikannya tumbuh menjadi wanita yang tangguh dan mandiri. Bahkan saat melewati masa peralihan dari masa perang era Meiji ke era Showa. Awalnya aku pikir bahwa kisah ini adalah kisah nyata, namun Ayako menjelaskan bahwa kisah ini merupakan perpaduan kisah perempuan-perempuan tangguh Jepang dalam menghadapi kehidupan yang sulit kala itu.

image

Sepanjang 2 jam durasi perjumpaan ini, antusias para awak media dan para blogger sangat besar mengikuti setiap penjelasan Ayako. Senyum manis yang senantiasa menghias wajah cantiknya tetap sama seperti yang tergambar pada kehidupan Oshin. Dalam kesukaran hidupnya, Oshin senantiasa tersenyum meskipun dia menerima cercaan, hinaan dan kehidupan yang berat hingga akhirnya dia berhasil melalui semuanya.

Dari hasil googling, aku menemukan bahwa serial Oshin terdiri dari 297 episode cerita sepanjang 15 menit. Pertama kali ditayangkan 4 April 1983 – 31 Maret 1984 dengan format gambar NTSC Interlace melalui TV NHK. Namun dengan rencana pemutaran ulang melalui saluran Waku-Waku Japan, maka kualitas gambar diubah ke HD. Rencananya serial Oshin ini akan dimulai Senin 29 Februari 2016 setiap Senin – Sabtu jam 8.00 – 8.20 malam setiap harinya.

WAKUWAKU JAPAN merupakan channel yang menampilkan konten Jepang untuk warga lokal dalam bahasa lokal selama 24 jam sehari. Menampilkan kondisi Jepang pada pemiraa di negara-negara lain melalui tayangan budaya masing-masing daerah di Jepang dan produk-produk menarik dari Jepang dengan lama resmi http://www.wakuwakujapan.tv.

Untuk pemirsa Indonesia yang  berlanggan Indovision dapat memilih Ch. 168, Okevision Ch. 32, MNC Play Media Ch. 168, Big TV Ch. 280, Firstmedia Ch. 340, Transvision Ch. 370, Orange TV KI BAND Service Ch. 209, C BAND Service Cj. 1209 dan Usee TV Ch. 582.

Ayako sangat optimis bahwa Serial Oshin ini akan tetap dapat diterima karena merupakan cerita lintas generasi. Kemampuan Produser Eksekutif Yukiko Okamoto telah membawa sebuah semangat perjuangan wanita Jepang ke layar pemirsa telah membawa serial ini diputar di 82 negara. Bahkan Ayako berdoa mendapatkan umur panjang, sehingga dia tidak saja memerankan Oshin kecil, Oshin dewasa, tetapi juga akan memerankan Oshin tua dalam serial itu. Aamiinnnnn yra…

Panjang umur untukmu Ayako… semoga semangat Oshin dapat memotivasi perempuan-perempuan hebat untuk terus berkarya.

image

*kacang adalah bahasa Jepang panggilan sayang untuk Ibu.

la_vie

Ketika Sayap Terkembang

Terakhir aku berkunjung ke Morowali tepat setahun sebelum aku pindah ke Jakarta. Morowali adalah sebuah kabupaten pemekaran dari Poso yang terletak di wilayah propinsi Sulawesi Tengah. Morowali beribukota di Bungku, Kecamatan Bungku Tengah, berdasarkan UU No. 51 Tahun 1999.

Namun dalam kunjungan kali ini, aku menemukan bahkan kabupaten ini telah mekar. Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2013 ditegaskan pemisahan dan berdirinya Kabupaten Morowali Utara sebagai daerah otonom baru dengan Kolonodale di kecamatan Petasia sebagai ibukota. Pemisahan ini juga  di dasarkan pada hak asal usul daerah yang bersifat Swapraja “zelfbesturende landschappen”.

Ternyata perubahan itu berdampak nyata. Dari terakhir kunjunganku ke Bungku, beragam pembangunan tergambar pada kota ini. Kabupaten muda ini memiliki berbagai potensi yang cukup besar, baik disektor perkebunan, pertanian, kelautan, perikanan maupun pariwisata.

image

Sektor yang paling potensial di Morowali adalah pertambangan, tak heran jika banyak orang menyebut kabupaten ini sebagai tanah 1.001 tambang. Jenis tambang di Morowali diantaranya nikel, marmer, minyak bumi dan kromit. Bahkan sempat menjadi topik hangat tentang para penjual-penjual tanah air sebagai ungkapan untuk para penambang ketika daerah ini melakukan eksport raw material-material tanah ke para pembeli Luar Negeri saat Undang-Undang Pertambangan masih memungkinkan berlakunya eksport tersebut.

image

Namun setelah pengkajian dan evaluasi yang komprehensif, perbaikan-perbaikan aturan dibuat untuk kepentingan masyarakat setempat pun diberlakukan. Walhasil, dalam kunjungan kali ini, daerah ini terlihat berkembang sangat pesat. Salut untuk kemajuannya.

image

Tapi yang membuatku lebih salut lagi, pas mencari data di Kantor Dinas Penanaman Modal dan Promosi Daerah, kantor ini kosong karena semua pegawai sedang ke mesjid untuk sholat Ashar. Subhanallah… sungguh suasana yang luar biasa. Ternyata ini berlaku pada seluruh kantor pelayanan masyarakat di Morowali. Jadi jangan mencari pegawai muslim di kantor pada saat waktu sholat, karena mereka semua akan memenuhi mesjid, begitupun dengan Bupati Morowali, Anwar Hafid.

image

Prinsip yang dipegang Bupati 2 Periode ini adalah “Nilai seorang pemimpin dimata Allah, tidaklah diukur dari pangkat, gaji, harta dan jabatan, melainkan tanggungjawabnya menjalankan amanah yang diberikan kepadanya” membuatnya menjadi teladan terutama bagi warga transmigrasi di Bungku. Dimana program Aladin (Atap, Lantai dan Dinding) yang dibuatnya pada Periode kepemimpinan Pertama justru menginspirasi warga transmigrasi yang berhasil untuk melanjutkannya secara sukarela.

“Kami mengumpulkan dana setelah panen untuk membantu teman-teman yang rumahnya masih belum baik, karena kebutuhan dasar kami telah dipenuhi oleh Pemerintah Morowali, sekolah gratis sampai kuliah, kesehatan gratis dan penghidupan yang lebih layak dari hasil Sawit dan pertanian serta bekerja sesuai keahlian kami di perusahaan-perusahaan tambang di Morowali,” jelas Kadek saat berbincang di warung ikan bakar Dua Puteri Bungku.

Sukses terus Morowali…

la_vie