Terlalu banyak Excuse

Entah mengapa, perasaan iba terlalu besar buatnya. Kadangkala menjadi sangat menjengkelkan namun rasa prihatin masih jauh lebih besar.

image

Setiap bertemu, banyak sekali keluh kesah, tentang keluarganya, tentang hidupnya, tentang dirinya dan tentang orang-orang disekitarnya. Selalu adaaaa saja yang disebutnya.

Tapi entah kenapa, setiap diberikan peluang, diberikan kerjaan, adaaaaa saja excuse, alasan sehingga dia tidak harus mengerjakan apa-apa. Aduh…. gimana ceritanya yah.

Dia adalah aku. Karena keakuankulah sehingga terlalu jaim untuk menyebut diriku sendiri sehingga menggunakan dia dalam menjelaskan masalahku.

Aku bingung dengan diriku sendiri. Ingin sukses tapi selalu punya alasan untuk tidak melakukan apa-apa. Aku terlalu malas untuk bergerak. Padahal keinginanku untuk bisa berhasil seperti orang-orang itu sangat besar bahkan terlalu besar.

Ibarat kata, tiba-tiba terbangun dari tidur. Lalu mengambil jas terbaik, dan memperbaiki penampilan di depan cermin. Lalu, berteriak dengan semangat menggebu-gebu 3 kali “Aku mau sukses, aku harus berubah, Aku akan Sukses!”.

image

Setelah itu, perlahan membuka jas, membuka pakaian dan kembali menarik selimut dan berbaring di tempat tidur.

Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Namun semuanya hanya mungkin dengan kerja keras. Bukan hanya kerja keras, tapi juga kerja cerdas. Tanpa kerja keras dan kerja cerdas, apapun yang kita inginkan hanya menjadi khayalan semata.

Apalagi, jika yang dimunculkan hanyalah alasan-alasan pembenaran sehingga kita tidak perlu melakukan kerja apapun.

Alkisah di sebuah negeri. Ada seorang pengembara yang berkunjung hanya dengan sebuntal kain. Setelah shalat dan mengelilingi mesjid tua dan reyot itu lalu dia mengambil tempat dan duduk di emperan mesjid. Dia mulai berdendang berisi petuah dan nasehat. Tak lama, mulailah orang berdatangan dan mengerumuninya.

Setelah cukup ramai, sang pengembara ini mulai menangis tersedu. Semakin lama semakin keras dan kencang. Sontak saja warga menjadi heran dan merasa iba.

Entah siapa yang memulai, satu per-satu warga mulai melemparkan koin. Semakin banyak koin yang dilemparkan ke hadapan sang pengembara, semakin keras tangisannya dan semakin menyayat hati. Hingga akhirnya orang-orang pun berhenti melemparkan koin dan pengembara itu pun berhenti menangis.

Lalu dia mulai berdendang kembali. “Wahai puan cantik berhati mulia, wahai tuan tampan berhati emas, dimuliakanlah semua yang telah melemparkan keping-keping perak di hadapan hamba. Hamba telah datang jauh dari ujung langit namun sebentar saja melepas lelah di mesjid ini telah mengumpulkan ratusan keping perak. Adalah kiranya puan dan tuan berbesar hati, kepingan-kepingan ini akan menjadi tiang penyangga mesjid ini sehingga kembali kokoh laiknya istana yang puan dan tuan miliki.”

Semua orang terkejut mendengarkan dentang pengembara ini. Sesungguhnya selama ini mesjid tua itu telah mereka tinggalkan dan berpindah pada mesjid agung milik raja. Untuk mencapai mesjid raja itu, mereka harus berkendara sementara mesjid tua ini berada di pinggir desa dan tidak terurus.

Lanjut sang pengembara, “tentulah mesjid tua ini juga akan menjadi indah, jika keping-kepingan perak ini terkumpul sedikit demi sedikit dan digunakan untuk membangunnya. Terkadang kita lebih puas dengan milik orang lain sementara mengabaikan harta yang kita miliki. Terkadang kita puas dengan kesuksesan orang lain namun tidak mencari sukses kita sendiri.”

“Wahai puan dan tuan pemilik tanah ini. Peliharalah semua yang menjadi milik kalian, karena akan lebih mulia kesuksesan yang kalian terima ketika dibangun dari hasil jerih payah sendiri. Biar gubuk tapi hasil kesuksesan sendiri daripada puas menyaksikan hasil karya orang lain sementara milik sendiri terlantarkan.”

Mendengar lantunan gubahan sang pengembara, beberapa warga mulai menangis, bahkan perak yang tadinya hanya kepingan mulai bertambah dengan pundi-pundi bahkan kepingan emas.

Memang, kadangkala kita lupa bahwa apa yang kita miliki dapat dimaksimalkan untuk kesuksesan kita. Kita terbuai dengan rasa malas melihat kesuksesan orang lain. Padahal bisa jadi kemampuan kita lebih dari yang lain. Bisa saja para tukang yang membangun mesjid raja berasal dari negeri itu. Bisa saja material yang digunakan raja berasal dari negeri itu. Atau mungkin para pengukir, muadzin bahkan pengunjungnya kebanyakan warga negeri itu.

image

Kadangkala, terlalu banyak excuse untuk mencapai kesuksesan kita. Padahal, ketika kita melirik kebun tetangga, kita mungkin bisa lebih baik mengerjakannya dengan ide-ide kreatifitas kita.

Pengembara itu hanya bertindak kecil, tanpa excuse untuk sukses mempengaruhi warga menyumbang demi perbaikan mesjid. Tidak seberapa yang dia dapatkan, tapi merupakan bukti kongkrit dari apa yang diupayakannya.

image

Mari manfaatkan kemampuan yang kita miliki dan raih sukses kita!

#Renunganvie

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s