Sejak menerima kartu peserta askes, inilah kali pertama aku memulai sejarah menggunakannya untuk berobat. Untuk menggunakan kartu kuning kecil ini, membuat panjang hariku ditengah kondisi macet ibukota.
Bermula dari perjalanku kembali dari kota Daeng di Makassar. Menggunakan pesawat pilihan penumpang yang juga menjadi Official Global Airlines Partner Liverpool Football Club dalam kegiatan Liverpool FC Asia Tour 2013 lalu yaitu Garuda Indonesia.
Dalam perjalanan menggunakan pesawat terbang, sudah menjadi terbiasa ketika terjadi tekanan udara yang tinggi, maka aku akan menutup hidung dan menghembuskan nafas kencang-kencang sehingga udara dapat keluar dari kedua telingaku.
Namun siapa sangka, ternyata telinga kiriku tidak dapat mengeluarkan udara. Terasa sangat sakit sekali terutama di daerah kening.
Awalnya aku berfikir, sakit itu akan hilang dengan sendirinya setelah istirahat yang cukup. Namun dua minggu berlalu, dengungan di telinga masih tetap ada. Beragam metode pun telah aku lakukan untuk terapi mengikuti bacaanku hasil browsing bersama om Google.
Tapi semuanya tetap saja tidak berhasil. Dengungan di telingaku tetap saja ada dan bahkan mungkin menjadi penyebab sakit kepala di kening.
Akhirnya kuputuskan untuk berobat. Akupun menuju Rumah Sakit Tebet. Aku sempatkan bertanya bagaimana cara menggunakan kartu Askes jika hendak berobat. Karena memang sejak pertama kali mendapatkan kartu askes, tidak pernah sekalipun aku menggunakannya.
Setelah dijelaskan panjang lebar mengenai prosedur penggunaan askes, aku pun mendaftarkan diri untuk bertemu dokter THT karena prakteknya di sore hari. Namun aku mendaftar untuk pelayanan pribadi saja dulu, karena masih panjang proses yang harus aku lakukan jika ingin menggunakan kartu askes.
Prosedurnya adalah, pertama aku harus ke kantor PT Askes di Pasar Minggu untuk pembaharuan data perubahan domisili. Apalagi aku telah pindah domisili dan menggunakan KTP Tebet, Jakarta Selatan. Setelah itu aku harus ke puskesmas kecamatan Tebet dan mengambil surat rujukan ke rumah sakit.
Untuk urusan begini biasanya membutuhkan waktu yang lama. Makanya aku mendaftar saja untuk pasien pribadi.
Namun ternyata urusannya tidak seribet yang aku bayangkan. Aku ke kantor PT. TASPEN dan langsung dilayani. Namun sayangnya, sistem prubahan data yang mereka gunakan sedang error sehingga mereka hanya bisa mengeluarkan surat rekomendasi dan pengantar ke puskesmas Tebet.
Akupun bergegas ke puskesmas kecamatan Tebet. Setiba disana, semua pelayanan poli telah tutup. Untunglah, petugas bagian pendaftaran menyarankan untuk langsung naik saja ke lantai 4, barangkali masih bisa dibantu.
Akupun segera naik ke atas. Dan alhamdulillah, aku masih bisa dilayani walaupun pelayanan poli telah tutup dan ruang tunggu pasien sudah kosong. Berhubung dokter THT di puskesmas kecamatan Tebet baru saja pensiun dan belum ada dokter pengganti, maka surat rujukan ke Rumah Sakit Tebet pun segera dibuatkan.
Jadinya aku bisa berobat ke Rumah Sakit Tebet menggunakan kartu peserta Askes. Hehehehe, tidak sampai disitu pengalaman pertamaku menggunakan Askes. Ternyata, pelayanan Askes tidak sepenuhnya. Aku masih harus membayar administrasi Rp.50.000 dan dari 4 obat yang diresepkan dokter, hanya 1 yang ditanggung askes, selebihnya harus aku beli sendiri.
Aku bahkan sempat menanyakan kepada dokter dan suster di bagian THT dan pendaftaran. Apakah beda penanganan yang diberikan kepada pasien pribadi dan peserta askes? Karena harapanku ada tindakan yang diberikan dokter terhadap telingaku.
Karena begitu aku konsultasi ke dokter, hanya diperiksa menggunakan alat untuk melihat ke dalam telinga lalu buka mulut dan juga memeriksa hidung. Dan selesai. Saya pikir, akan dibantu mengeluarkan lendir yang mengganjal dengan alat sehingga tidak harus meminum obat dan bisa melegakan hidung mampet dan telinga yang berdengung akibat sumbatan pada rongga telinga
Tapi dokter selesai memeriksa langsung menuliskan resep obat, tanpa tindakan apa-apa. Duh…. kalau cuma seperti ini mungkin tidak perlu ke Rumah Sakit yah… Hanya terfikir, seandainya pemda tidak menggratiskan biaya berobat mungkin saja lebih banyak dokter-dokter otodidak yang nanti ke rumah sakit ketika kondisi pasien sudah benar-benar parah karena kalau ke dokter memang hanya dilihat langsung di kasih obat.
Jadi identik, ketemu dokter untuk diberi obat, seperti kata dokter yang menanganiku “kalau tidak mau minum obat, ya jangan sakit!”
Jiahhhh dok…. siapa juga manusia yang mau sakit. Kita semua maunya sehat koq.
#RenunganVie